Riyanto segera keluar ruangan dan melemparkan bungkusan bom itu ke tong sampah, namun terpental. Ia kemudian berinisiatif mengamankan bom dengan memungut kembali untuk dilemparkan ke tempat yang lebih jauh lagi dari jemaat. Namun, Allah SWT berkehendak lain, bom mendadak dalam pelukan Riyanto sebelum sempat dilempar.

Tubuh pria itu terpental, berhamburan. Sekitar 3 jam kemudian, sisa-sisa tubuh Riyanto baru ditemukan di sebelah utara kompleks gereja, sekitar 100 meter dari pusat ledakan. Jari dan wajahnya hancur, Riyanto pun meninggal seketika.

Bom ini tampaknya tidak main-main. Ledakannya membuat roboh pagar tembok di seberang gereja. Bahkan kaca-kaca lemari dan etalase Studio Kartini yang tepat di depan gereja Eben Haezer hancur semua. Ledakan ini bukan satu-satunya. Pada saat yang hampir sama, beberapa gereja yang lain juga terkena bom dan menelan korban jiwa.

Pria Muslim yang lahir dari pasangan Sukarnim dan Katinem ini banyak dipuji orang. Seorang Muslim sejati yang rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan orang lain yang sedang merayakan. Gus Dur pernah berujar, “Riyanto telah menunjukkan diri sebagai umat beragama yang kaya nilai kemanusiaan. Semoga dia mendapatkan imbalan sesuai pengorbanannya.”

Kini, setelah 17 tahun peristiwa itu berselang, nama Riyanto hampir tidak pernah disebut, apalagi untuk diteladani semangat perjuangan dan rasa kemanusiaan Riyanto. Sungguh hal ini sangat ironis, bila dibandingkan dengan keteguhan jiwa Riyanto yang muslim, mau mengorbankan jiwa dan raganya untuk menyelamatkan ratusan nyawa jemaat gereja Eben Haezer.

Di tengah banyaknya aksi kekerasan mengatasnamakan agama seperti yang belakangan ini sering terjadi, sosok dan pengorbanan Riyanto, patut menjadi teladan bagi kita semua, tanpa membeda-bedakan agama dan kepercayaan, suku, ras maupun golongan. (tt)