Oleh: Dr. Ir. Muhammad Zainal Altim, ST., MT., IPM.
Dosen Fakultas Teknik UMI Makassar

Kolega saya dalam dunia praktis media, Zulkarnain Hamson, menyodorkan penemuan lain dalam bukunya berjudul: “Forensik Jurnalisme: Membedah Fakta Berita.” Buku ini memiliki relevansi forensik digital: penulisnya menggarisbawahi pentingnya teknik forensik digital dalam jurnalisme modern. Dengan banyaknya informasi yang beredar di media sosial dan internet, kemampuan untuk menganalisis dan melacak bukti digital menjadi sangat krusial.

Saya tertarik melihatnya dari “Media dan agenda setting” Zulkarnain Hamson menganalisis fenomena di mana media dapat memengaruhi pandangan publik dengan menentukan isu-isu apa yang dianggap penting untuk diberitakan (agenda setting). Jurnalis harus sadar akan peran ini dan menggunakan pengaruhnya untuk menyajikan berita yang bertanggung jawab, hal itu dimulai dari pemahaman fakta.

Menekankan pentingnya literasi data: buku ini menekankan perlunya jurnalis memiliki kecerdasan dalam membaca dan menganalisis data. Di era informasi yang berlimpah, kemampuan ini sangat dibutuhkan untuk memverifikasi kebenaran dan mengungkap informasi yang tersembunyi.

Berbekal lebih dari 27 tahun di media cetak, baik mingguan maupun harian, penulis memahami peran jurnalis di tengah disinformasi, terutama di tengah maraknya berita palsu dan disinformasi, Zul Hamson menegaskan bahwa peran jurnalis adalah membongkar fakta yang tersembunyi dan menyajikan kebenaran yang tak terbantahkan kepada publik.

Secara keseluruhan, buku ini memberikan panduan praktis dan teoretis bagi jurnalis untuk meningkatkan kualitas investigasi mereka dengan menggunakan metode yang lebih ketat, analitis, dan berbasis bukti, melalui pemahaman yang mendalam terhadap berbagai jenis fakta.

Pendekatan yang digunakan kandidat doktor asal Universitas Hasanuddin ini, adalah mengategorikan fakta jurnalistik ke dalam fakta empirik, fakta publik, fakta psikologis, dan fakta opini, menurut saya tidaklah sepenuhnya unik. Gagasannya berakar pada pemikiran mendasar dalam ilmu komunikasi dan jurnalisme yang sudah lama dipegang oleh banyak pakar media.

Banyak pakar komunikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, sudah mengemukakan ide serupa, meskipun dengan terminologi dan kerangka teoretis yang berbeda. Saya mencoba membandingkan dengan pakar lain. Gagasan tentang kebenaran dan objektivitas:

Dalam bukunya itu, Zulkarnain Hamson menekankan bahwa jurnalis harus secara kritis menguji berbagai jenis fakta untuk mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Jauh sebelumnya Walter Lippmann, salah satu pemikir media paling berpengaruh, membedakan secara tajam antara “berita” dan “kebenaran”.

Ia berpendapat bahwa berita adalah laporan yang mencakup peristiwa faktual, sementara kebenaran adalah rekonstruksi realitas yang lebih luas dan rumit yang tidak dapat seluruhnya ditangkap oleh berita. Karyanya menginspirasi jurnalis untuk melampaui pelaporan peristiwa dan mencari pemahaman yang lebih dalam.

Pakar lainnya, Philip Meyer, mendorong penerapan metode sains sosial dalam jurnalisme untuk meningkatkan akurasi. Konsepnya tentang “jurnalisme presisi” sangat selaras dengan gagasan Zulkarnain Hamson tentang penggunaan fakta empirik dan data untuk memverifikasi laporan.

Sebagai praktisi yang beranjak memasuki dunia akademik, aktifitas saya selama menjadi wartawan, cukup mengapresiasi buku ini. Sebagai akademisi, upaya Zulkarnain Hamson menyuguhkan kategori fakta dan sumber informasi, sangat membantu jurnalis membedakan fakta berdasarkan sumber (empirik, publik, psikologis, dan opini). Buku ini layak untuk menjadi referensi bagi jurnalis dan mahasiswa komunikasi. (*)