Merajut Damai di Tanah Karaeng : Sebuah Refleksi Demokrasi
Oleh : Dr. Mustaufiq (Birokrat Muda Jeneponto)
Proses demokrasi melalui pemilihan umum kepala daerah adalah cerminan kedewasaan politik dan kematangan berdemokrasi yang tidak dapat ditawar dalam sebuah negara berdaulat.
Indonesia, sebagai negara besar dan majemuk, menganut sistem pemerintahan presidensial dengan pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Prinsip “checks and balances” yang tertuang dalam konstitusi menegaskan pentingnya pengaturan yang ketat terhadap kekuasaan, serta proses peralihan kekuasaan yang demokratis melalui pemilihan umum (Pemilu).
Pemilu bukan hanya sekadar mekanisme memilih pemimpin, ia merupakan pilar demokrasi dan instrumen legitimasi yang didasarkan pada kehendak rakyat.
Proses ini melibatkan masyarakat secara luas, tidak hanya pada hari pemungutan suara, tetapi juga pada setiap tahapan yang ada, ketika perselisihan muncul, penyelesaian yang sah harus mengacu pada keputusan hukum yang jelas.
Negara demokratis menjunjung tinggi nilai kepastian hukum, yang menjadi landasan setiap tindakan dan keputusan.
Saat ini, Mahkamah Konstitusi (MK) tengah mempersiapkan keputusan penting terkait sengketa pemilu yang akan diumumkan pada 24 Februari 2025. Masyarakat diharapkan dapat menerima hasil tersebut dengan lapang dada, terlepas dari pandangan atau harapan pribadi.
Sebagai warga negara yang menjunjung tinggi etika dan moralitas, kita harus menunjukkan kedewasaan dalam menghadapi hasil tersebut, mengingat kita hidup dalam “a country based on law”.
Di tengah tantangan ini, merajut damai di Butta Karaeng, tepatnya di Kabupaten Jeneponto, menjadi komitmen bersama.
Meskipun daerah ini sering terstigma sebagai zona merah pada setiap pemilu, masyarakatnya selalu menunjukkan kesejukan dan kedamaian. Konsep A’bulo Sibatang Accera Sitongka Tongka, yang mencerminkan Bhineka Tunggal Ika, menjadi identitas kolektif bangsa.
Semboyan ini, yang terukir pada pita putih di cengkeraman burung Garuda, mengingatkan kita bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan yang harus dijalin dalam satu tujuan.
Mari kita bulatkan tekad, mulai dari pelosok desa hingga pusat kota. Kami, para petani, nelayan, pemuda, dan seluruh lapisan masyarakat, harus bersama-sama menciptakan iklim demokrasi yang damai. Perbedaan harus dipahami sebagai keindahan, dan kedamaian harus menjadi tujuan bersama.
Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, “المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ,” yang berarti seorang Muslim adalah mereka yang menjadi sumber perdamaian bagi sesama, terbebas dari kejahatan lidah dan tangan.
Dari Butta Turatea, tanah para Karaeng, kami titipkan salam damai untuk Indonesiaku.
Mari kita wujudkan perdamaian, karena hanya dalam kedamaianlah kita dapat meraih kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.