Merdeka Dari Reklamasi, KAWAL: Minta Pemprov Hentikan Privatisasi Laut
MAKASSAR- Di momentum peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT RI) warga Lae-lae menyelenggarakan sebuah perayaan sekaligus peringatan kegiatan Island Festival 2023, dengan mengusung tema ‘Merdeka Dari Reklamasi’, Kamis (17/8/2023)
Kegiatan ini dilakukan selama tiga hari, mulai dari tanggal 16-18 Agustus 2023, dengan berbagai jenis kegiatan, yakni bersih pantai, parade laut, upacara bendera, parade budaya, live mural, parade layang-layang, pasar rakyat, tari pa’dupa dan kontemporer, teater, musikalisasi puisi, instalasi galeri, lomba dan live musik.
Ini juga sebagai respon warga terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang masih mengakomodir zona reklamasi dan memberikan peluang kepada perusahaan yang melakukan privatisasi laut. Kegiatan ini juga membawa pesan sederhana, bahwa pemaksaan kebijakan tak boleh dilakukan, termasuk kebijakan reklamasi yang salama ini meminggirkan masyarakat pesisir dan pulau pulau kecil.
“Terima kasih mendukung kami selama ini menolak reklamasi. Semoga reklamasi ini sudah tidak akan berlanjut lagi, mudah-mudahan kita tenang di Pulau Lae-Lae dan sejahtera.” Dg. Puji.
Di momentum hari kemerdekaan ini, kami Warga Lae-Lae bersama Koalisi Lawan Reklamasi (KAWAL) Pesisir meminta dengan tegas kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk segera menghenti pembahasan dokumen Amdal reklamasi di Pulau Lae-Lae serta pemerintah pusat tak menerbitkan izin yang melegalkan reklamasi di Pulau Lae-Lae.
Kami meminta kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk menhentikan privatisasi laut. Warga lae-lae tidak butuh reklamasi, yang mereka butuhkan adalah pengakuan dari pemerintah atas wilayah kelola yang mereka yakini sebagai sumber penghidupan.
Akses ruang bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil kian menyempit, baik sebagai tempat tinggal, ruang hidup serta wilayah kelola. Hal ini bisa dilihat sepanjang pesisir Makassar, mulai dari wilayah Tanjung Bayang hingga CPI, kemudian bergeser ke pesisir Ujung Tanah dan Tallo, wilayah tersebut telah dimodifikasi sedemikian rupa dengan beragam peruntukan, mulai dari properti, pariwisata, pusat perbelanjaan, pelabuhan dan pembangunan lainnya yang dibingkai dalam satu tarikan nafas yaitu ‘Reklamasi’.
Dalam lautan kenyataan, reklamasi lebih banyak untuk kepentingan bisnis dan mengambil sumber daya bersama (common) sehingga masyarakat tak memiliki akses untuk menikmati dan memanfaatkannya.
Reklamasi hanya memberikan dampak buruk bagi masyarakat pesisir dan pulau pulau kecil. Dua kasus reklamasi di Kota Makassar adalah contoh nyata, pembangunan center point of Indonesia dan reklamasi pesisir Tallo memperlihatkan bagaimana pembangunan di wilayah pesisir-laut telah menghilangkan sumber penghidupan masyarakat yang selama ini bergantung hidup dari sumber daya laut.
“Ini salah satu momen untuk masyarakat Lae-lae merefleksikan perjuangannya selama ini. Bahwa kemerdekaan yang diharapkan Pulau Lae-Lae adalah terbebas dari reklamasi dan berdaulat atas sumber daya alam. rencana reklamasi yang akan merusak dan menghilangkan wilayah tangkap nelayan harus dihentikan.” Taufik (kawal Pesisir)
Pulau Lae Lae menjadi incaran selanjutnya untuk direklamasi. Pemerintah Sulawesi Selatan lewat pemberitahuan resminya, menginformasikan akan melakukan reklamasi di sebelah barat Pulau Lae-Lae. Jika rencana reklamasi tidak dihentikan, maka akan ada 484 nelayan Pulau Lae-Lae yang berpotensi hilang sumber kehidupannya. Jika dirata-ratakan, satu nelayan memiliki 4 anggota keluarga, maka akan ada 1.936 orang mendapat dampak buruk dari pembangunan reklamasi ini. Jumlah tersebut belum termasuk keluarga pa’papalimbang, warung/kios, wiraswasta dan pelaku wisata.
Salah satu kebijakan daerah yang melegalisasi privatisasi laut dengan cara reklamasi adalah Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Kebijakan ini bukan hanya menghilangkan wilayah kelola nelayan dan perempuan, tapi menciptakan konflik sosial yang berkepanjangan antara warga, pemerintah dan perusahaan.
Konflik sosial terjadi, disebabkan perbedaan kepentingan antara keinginan pemerintah, perusahaan swasta dan komunitas nelayan dan perempuan dalam pengelolaan dan pemanfaatan pesisir dan laut. Selain itu, kegiatan reklamasi ini berpotensi melanggar hak asasi nelayan atas laut.