Jakarta, Matasulsel – Pandemi akibat virus bukan pengalaman baru bagi dunia. Namun, tidak ada yang pernah membayangkan bahwa kejadian di pasar hewan Wuhan, China pada akhir Desember 2019 akan berkembang menjadi malapetaka dunia.

Beberapa bulan kemudian, seluruh negara di dunia terpaksa “mengunci” warganya di rumah guna mencegah penyebaran covid-19, virus baru yang hingga kini belum ketemu obat dan vaksinnya.

Seluruh sektor kehidupan terdampak secara drastis dan memaksa umat manusia berdiam di rumah sebagai respon sementara menghadapi ganasnya wabah. Pandemi Covid-19 ini memenuhi tiga ciri dalam teori Angsa Hitam (Black Swan Theory), Nassim Nicholas Taleb (2007),

Takni muncul secara mengejutkan, berpengaruh besar, dan setelah muncul orang mulai mencari penjelasan dengan meninjau masa lalu dan menyimpulkan seharusnya peristiwa ini sudah dapat diperkirakan.

Dampak Ekonomi dan Politik
Angsa Hitam ini menyeret dunia dalam ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir, kecuali secara meyakinkan bahwa skenario krisis ekonomi telah berjalan. Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF menegaskan bahwa pandemi Covid-19 telah mengakibatkan ekonomi dan keuangan global mengalami krisis.

Bahkan, OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan turun kisaran 1,5 % – 2,4%, disusul dengan potensi pertumbuhan minus di sejumlah negara. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan turun menjadi 2,3 %, dan berpotensi menjadi minus 0,4 %. Sedangkan Faisal Basri memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat mungkin berada pada posisi yang lebih buruk lagi, yakni tumbuh dengan optimisme dikisaran 0,5%, atau terpuruk pada minus 2% hingga minus 2,5 % (24/4/2020).

Epidemi Covid-19 telah meruntuhkan sektor produksi dan konsumsi dalam mata rantai pasokan ekonomi nasional. Konsumsi rumah tangga anjlok, padahal berkontribusi terhadap 59 % perekenomian nasional. Penanganan wabah Covid-19 juga membuat pemerintah merealokasi anggaran dan menurunkan belanja pemerintah (government spending) yang tidak bisa dijalankan akibat kebijakan pembatasan sosial.

Perdagangan internasional berkontraksi, terutama ekspor yang turun pada kisaran minus 14 %- minus 15,6 %. Sementara itu, sektor investasi yang selama ini berkontribusi sekitar 33,08% pada pertumbuhan ekonomi, juga merosot tajam hanya tumbuh sekitar 1 %, dan disusul berhentinya ribuan pabrik yang berpotensi menimbulkan gelombang PHK massal dan runtuhnya sektor industri nasional.

Situasi ekonomi yang memburuk ini jelas akan menimbulkan dampak domino pada sektor lain, terutama sosial dan politik. Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto memperkirakan angka kemiskinan naik dari 9,15% menjadi 9,59% (15/4/20).

Bagi masyarakat dengan struktur pendapatan yang rendah sangat rentan menghadapi krisis dan sulit mengakses kebutuhan esensial seperti energi, kesehatan, pendidikan dan bahan pokok.

Jika disparitasnya terlalu tajam dan tidak ada kebijakan jaring pengamanan sosial yang efektif, hal ini bisa menjadi komoditas politik dan memicu gejolak sosial. Secara politik, persoalan ekonomi dan sosial yang timbul dan berpotensi mengarah pada krisis ini akan menimbulkan apa yang disebut Fukuyama (2011) sebagai political decay atau goncangnya tatanan politik.