“Kalau sekadar produknya saya kira itu hanya kejahatan biasa yang dijerat UU kesehatan. Sementara ada indikasi kejahatan yang lebih besar. Yang implikasinya justru pada kerugian keuangan negara,” paparnya.

Dari perspektif sosial, Ansar menyoroti
ketidakadilan penerapan hukum jika mereka tak dijerat pidana kejahatan perpajakan. Sebab aktivitas ilegal mereka telah melukai rasa keadilan.

“Logikanya sederhana. Bisnis kosmetik ini ilegal. Omzetnya miliaran tapi dibiarkan tak bayar pajak. Sementara ada UMKM yang omzetnya kecil dikenai pajak. Inikan melukai rasa keadilan ekonomi rakyat. Orang kecil diuber-uber bayar pajak. Di sisi lain ada orang yang menikmati aktivitas ilegal tapi pajak diam saja,” tukas Ansar.

Tak hanya Mira Hayati, Agus Salim dan Dg Sila, sejumlah owner lainnya juga mesti dijerat dengan pasal yang sama. Di antaranya, Maxie Glow, NRL, Bestie Glow dan Abhel Figo.

Koordinator yang juga peneliti Laksus, Mulyadi mengungkapkan, cara-cara kerja ilegal para pelaku bisnis kosmetik sangat jelas akan menghindarkan mereka dari kewajiban pajak. Mereka sengaja tetap melakukan aktivitas ilegal ini agar tak tersentuh pajak.

“Ya jelas. Namanya ilegal nda mungkinlah mereka tersentuh pajak. Kalau tidak tersentuh pajak artinya jelas di situ ada indikasi TPPU. Karena mereka merampas hak negara untuk kepentingan bisnisnya,” tegas Mulyadi.

Soal pajak, kata Mulyadi, brand MH milik Mira Hayati, RG milik Agus Salim dan FF milik Dg Sila, punya potensi perputaran omzet Rp5 miliar hingga Rp10 miliar per bulannya.

“Coba kalau itu bisa kena pajak, akan jadi pundi-pundi baru. Tapi ini menguap. Tak sesenpun masuk untuk pajak. Artinya apa? Ya artinya ada pidana pencucian uang,” ucap Mulyadi.

Mulyadi mendorong ada upaya terencana dari kepolisian untuk membongkar kejahatan ini. Kata dia, jika dibiarkan akan berkembang memunculkan kejahatan ekonomi baru.

“Kapolda Sulsel tak boleh lagi diam. Kita tunggu sikap tegasnya,” imbuhnya.