Nilai Spiritualitas Bung Hatta dan Karakter Bangsa Kembali Dikaji
MAKASSAR – Mengawali tahun 2025, Ma’REFAT INSTITUTE Sulawesi Selatan bersama Forum Alumni Sekolah Pemikiran Bung Hatta (FA-SPBH) dan Book Club Alumni SPBH-1, melanjutkan Program “Membaca Kembali Bung Hatta” seri yang ke-2 masih dengan topik “Spiritualitas Bung Hatta dan Pembentukan Karakter Bangsa.” Program ini dilaksanakan di Kantor LINGKAR-Ma’REFAT Makassar pada akhir pekan lalu, Minggu 12 Januari 2025.
Pertemuan siang itu, menghadirkan pemantik yakni Mohammad Muttaqin Azikin selaku Alumni Sekolah Pemikiran Bung Hatta (SPBH) Angkatan 1-LP3ES Jakarta dan Zulkarnain Hamson, S.Sos., M.Si yang merupakan Akademisi serta Penyuluh Pendidikan Anti Korupsi.
Dalam situasi saat ini, sosok pemimpin yang dapat dijadikan panutan semakin sulit ditemukan. Oleh karena itu, menggali kembali nilai-nilai kepemimpinan Bung Hatta menjadi semakin penting. Melalui kajian mendalam terhadap pemikiran dan tindakan Bung Hatta, Ma’REFAT INSTITUTE berharap dapat memberikan inspirasi untuk menghadapi tantangan masa kini.
Bung Hatta dengan ketajaman pandangannya, telah memprediksi bahwa penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik akan membawa dampak buruk bagi negara. Dan sayangnya, beberapa tahun terakhir politisi yang pragmatis telah mewujudkan masalah itu. Banyak hal yang bisa digali dari Bung Hatta, salah satunya, sikap tegas beliau yang memilih mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956 sebagai bentuk protes terhadap praktik politik yang berlangsung kala itu. Kondisi tersebut memperlihatkan keteguhan moral dari seorang negarawan yang patut kita teladani ungkap Zulkarnain.
Lanjut Zulkarnain, sejak kecil Bung Hatta telah dididik dengan nilai-nilai agama yang kuat. Spiritualitas ini mengakar dan membentuk kesederhanaan pada dirinya. “Setiap pulang kantor, Bung Hatta menyempatkan diri untuk melihat-lihat sepatu impiannya di Pasar Baru. Ia selalu memperhatikan sepatu merek Bally yang terpajang di salah satu toko. Gambar sepatu asal Swiss itu, bahkan dia sobek dari sebuah koran lalu disimpan dalam dompetnya. Suatu waktu, beliau meminta kepada pemilik toko agar sepatu tersebut disimpan untuknya, hingga gajinya keluar. Sayangnya, hingga Bung Hatta wafat, sepatu Bally tak pernah terbeli.”
“Para pendiri bangsa memiliki kesadaran spiritual yang mendalam, yang tercermin dalam nilai-nilai Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta dalam perjuangan mereka. Kesadaran eskatologis dan teologis menjadi pendorong utama para pendiri bangsa ini dalam memperjuangkan kemerdekaan. Mereka melihat perjuangan ini sebagai bagian dari perjalanan spiritual mereka. Bung Hatta merupakan contoh yang baik, di mana nilai-nilai agama, terutama aspek sufisme, sangat mempengaruhi tindakan dan keputusannya sebagai pemimpin. Namun sayangnya, nilai-nilai spiritual seperti itu semakin memudar dalam kepemimpinan dan kehidupan masyarakat kita saat ini,” ujar Muttaqin mengambil alih sesinya.
Beberapa peserta diskusi memberikan tanggapan yang senada, terkait adanya upaya sistematis untuk meredupkan jejak perjuangan Bung Hatta yang mengakibatkan distorsi terhadap pemikiran dan nilai-nilai yang beliau perjuangkan. Hal tersebut menyebabkan generasi muda saat ini kurang familiar dengan sosok dan pemikiran Bung Hatta. Lebih jauh lagi, dalam konteks pemerintahan saat ini, nilai-nilai luhur seperti integritas, patriotisme, nasionalisme dan intelektualitas yang pernah menjadi landasan perjuangan Bung Hatta, tampak semakin memudar. Sepeninggal Bung Hatta, seolah politik didangkalkan dengan dijauhkannya politik dari intelektualitas dan nilai spiritual.
“Bung Hatta adalah nilai. Selama ini, kisahnya hanya disempitkan pada proklamasi kemerdekaan, sebagai salah seorang proklamator yang mendampingi Bung Karno. Bung Hatta adalah nilai yang teguh: spiritualitas dan intelektualitas yang mengakar pada bangsanya,” Ujar Zulkarnain memberi responsnya.
Masih dalam tanggapan Muttaqin, distorsi praktik dan pemikiran politik saat ini bisa terjadi karena pemimpin bangsa kita tidak memiliki pemahaman eskatologis. Bung Hatta pernah berkata, “Kewajiban kita di dunia ini adalah menjalankan perintah Tuhan untuk mencapai masyarakat yang baik”. Untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang baik mesti menempuh dua sendi pokok, yaitu keadilan dan cinta kasih yang dengan itu akan melahirkan kedamaian. Inilah pesan inti dari agama yang ingin disampaikan oleh Bung Hatta. “Jadi bagi saya, beliau bukan negarawan biasa, itu terlihat dalam perjalanan spiritualnya,” pungkas Muttaqin menutup sesi diskusi.
Melalui program “Membaca Kembali Bung Hatta”, kegiatan ini diharapkan mampu memberi pemahaman yang mendalam tentang sosok proklamator bangsa ini. Menjadikan Bung Hatta sebagai teladan dalam membangun karakter bangsa agar melahirkan generasi yang memiliki nilai-nilai luhur seperti integritas, patriotisme, dan intelektualitas yang dibalut dengan pemahaman spiritual yang mendalam.
Diskusi ini dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, baik dari mahasiswa, dosen, aktivis lingkungan dan juga pelaku usaha sera karyawan swasta.(*)