Jakarta, Matasulsel |Baleg DPR RI masih intens membahas RUU Ciptaker Omnibus Law, bahkan sudah menjadwalkan akan diselesaikan pada 29 Juli 2020. Merespons hal ini ternyata Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP, red) sebagai bagian dari aliansi GEBRAK (Gerakan Buruh Bersama Rakyat) sudah melakukan konferensi pers penolakan Omnibuslaw. Juga kampanye-kampanye di media sosial termasuk pemasangan spanduk di berbagai wilayah untuk menolak Omnibuslaw. Persiapan-persiapan juga sedang kita lakukan untuk turun aksi secara fisik. Nanti akan kami infokan lebih lanjut.

Demikian dikemukakan Jumisih yang juga Ketua Umum FBLP kepada Redaksi di Jakarta belum lama ini. Berikut petikan wawancaranya :

Pertanyaan : Apakah sudah ada kesepakatan antara buruh dan mahasiswa untuk melakukan aksi unjuk rasa atau judicial review ke MK?

Jawaban : Rencana aksi sudah, nanti kami infokan lebih lanjut. Rencana judicial review belum, kalau yang saat ini kami lakukan bersama LBH Jakarta dan kelompok lain adalah menggugat Surpres ke PTUN.

Pertanyaan : Apa dampak negatif RUU Omnibus Law terhadap perlindungan dan rasa keadilan bagi kaum buruh yang “terpinggirkan”?

Jawaban : RUU Omnibuslaw Cipta kerja ini secara substansi jelas tidak memberikan perlindungan dan keadilan kepada buruh. Karena pasal-pasal dibuat justru untuk melindungi satu sisi yaitu pengusaha dan melemahkan sisi buruh.

Perlindungan standar upah minimum ditiadakan, sanksi pengusaha yang terlambat bayar upah ditiadakan, sistem kerja kontrak outsourching makin tidak ada batasan, pencabutan pesangon, potensi dihilangkannya hak-hak dasar buruh perempuan, perlindungan berserikat menjadi lemah, ini semua adalah bentuk ketiadaan perlindungan Negara terhadap buruh. Artinya keadilan bagi buruh menjadi tidak ada.

Pertanyaan : Segala perizinan yang semula diterbitkan oleh menteri, gubernur, atau bupati/walikota, semuanya dialihkan kepada pemerintah pusat dalam RUU Ciptaker Omnibus Law. Beberapa poin penting dalam Undang-Undang yang dibuat oleh DPR RI, semua diubah menjadi Peraturan Pemerintah. Ada tanggapan?

Jawaban : ini kayak semacam sentralisasi kekuasaan dan mengabaikan partisipasi daerah. Pola ini menjadi tidak demokratis untuk menerima masukan-masukan dari DPR. Dan juga tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, dimana materi muatan UU tidak bisa diatur dalam PP.

Pertanyaan : Banyak pakar menilai pasal 170 dalam omnibus law dinilai membuat kekuasaan Presiden semakin eksesif/berlebihan?

Jawaban : Ini yang saya sebut tadi, bahwa ada sentralisasi kekuasaan yang berlebihan ke presiden dengan mengabaikan partisipasi DPR bahkan partisipasi public (Red/Wijaya).(*)

Terbit : Jakarta, 17 Juni 2020