Pengarusutamaan dialog dan partisipasi publik bukan dalam bentuk aksi unjuk rasa terhadap RUU ini sangat penting, karena Indonesia tengah pandemi Covid 19, disamping itu, dialog, diskusi dan kegiatan mengkritisi secara ilmiah serta konstruktif terkait RUU ini adalah pilihan logis, moderat, modern dan beradab dibandingkan menggelar aksi-aksi tekanan massa ditengah pandemi Covid 19, yang mungkin dapat berimplikasi hukum (dibubarkan paksa aparat dan pelakunya dihukum, karena sudah ada maklumat Kapolri) juga akan semakin memperburuk kondisi perekonomian, karena diakui atau tidak, PHK massal bisa menghantui kalangan buruh, sehingga lebih baik mereka berdedikasi dengan bekerja secara baik di lokasi kerja masing-masing daripada menggelar aksi unjuk rasa atau tekanan massa lainnya.

Intinya jangan sampai kelompok buruh dan BEM “dipolitisasi dan dikapitalisasi” kelompok kepentingan tertentu, dibalik penolakan RUU Omnibuslaw. Akan tampak lebih elegan jika kelompok buruh dan NGO sejumlah 93 organisasi yang melakukan penolakan Omnibuslaw berdiskusi dan mencari solusi bersama dengan pemerintah dan DPR RI.

Sementara itu, DPR RI juga harus transparan dalam membahas RUU yang sensitif ini, agar RUU ini benar-benar bukan “momok yang menakutkan”. Jika RUU ini dibahas terlalu cepat, tidak teliti dan sembarangan, maka ongkos Ipoleksosbudhankam yang akan diterima Indonesia ke depan akan “sangat mahal”, Jadi jangan pernah dicoba membahasnya tanpa partisipasi publik. Penulis adalah B. Wauran Jurnalis dan Kolumnis.(*)