Opini Analisa Komunikasi Politik Berbasis silaturahmi
Opini, Matasulsel – Reformasi di segala bidang yang dilakukan pemerintahan pasca Orde Baru, telah membawa perubahan yang sangat besar dalam kehidupan demokrasi politik di Indonesia. Disahkannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan revisi dari Undang-undang No. 22 Tahun 1999, telah mengubah tata cara pemilihan anggota legislatif. Anggota legislatif yang sebelumnya dipilih oleh rakyat berdasarkan jumlah suara yang diperoleh partai peserta pemilu dan berdasarkan nomor urut anggota di partainya masing-masing diubah menjadi dipilih langsung oleh masyarakat berdasarkan suara terbanyak tanpa mempedulikan nomor urutnya.
Sistem pemilihan secara langsung dengan mengumpulkan suara terbanyak seperti ini memerlukan upaya persuasif yang bertujuan menumbuhkan kesadaran masyarakat agar turut berpartisipasi dalam demokrasi politik, karena partisipasi masyarakat dalam menyalurkan suara politiknya akan menentukan arah dan kebijakan pembangunan daerah selama sedikitnya lima tahun ke depan.
Komunikasi politik merupakan suatu kegiatan yang terus-menerus berlangsung. Artinya, apa yang terjadi sekarang sebenarnya merupakan kelanjutan dari apa yang terjadi sebelumnya dan semua akan disambung dengan apa yang terjadi di waktu yang akan datang. Sebagai suatu proses, komunikasi politik dapat dipahami dengan melibatkan setidaknya lima unsur: Pelibat (aktor dan partisipan), pesan, saluran, situasi atau konteks, dan pengaruh atau efek.
Beranjak dari hal tersebut tentu saja selaku aktor politik, para kandidat seharusnya memperhatikan berbagai hal sebelum memutuskan menyampaikan pesan politiknya kepada khalayak. Apakah itu materi pesan yang hendak disampaikan, siapa sasaran dari pesan yang disampaikan, media yang tepat untuk menyampaikan pesan tersebut, kapan dan dimana sebaiknya pesan itu disampaikan, dan mengukur bagaimana pesan itu ditanggapi oleh khalayak yang dituju. Akan tetapi, politik akan berjalan dengan baik apabila komunikasi verbal dan nonverbal terjalin dengan baik pula. Citra yang sebenarnya akan dinilai bukan hanya dari tahap ‘pendekatan’ tetapi juga tahap ‘pacaran’, yaitu ketika para calon presiden yang telah terpilih menjadi presiden itu membuktikan apa yang telah dijanjikan dan dicitrakan sebelumnya. Sistem politik, seperti juga sistem-sistem lain, akan lebih mudah dipahami jika dihampiri dengan pendekatan sistem.
Pendekatan ini bertolak dari dalil sentral, bahwa semua gejala sosial (termasuk politik) adalah saling berhubungan dan saling pengaruh mempengaruhi. Pendekatan sistem berpegang pada prinsip bahwa tidak mungkin untuk memahami suatu bagian dari masyarakat secara terpisah dari bagian-bagian lain yang mempengaruhi operasinya.
Almond dan Powell mendefinisikan Komunikasi Politik sebagai fungsi politik bersama-sama fungsi artikulasi, agregasi, sosialisasi dan rekruitmen yang terdapat di dalam suatu sistem politik dan komunikasi politik merupakan prasyarat (prerequisite) bagi berfungsinya fungsi-fungsi politik yang lain. Perubahan tata cara pemilihan tersebut juga akan merubah cara-cara dan pendekatan kampanye politik yang dijalankan oleh masing masing calon anggota legislatif.
Kampanye dengan cara lobi/komunikasi politik kepada tokoh-tokoh masyarakat (key person) lebih diutamakan karena dapat menjadi magnet suara, di samping itu pengenalan calon kepada masyarakat melalui kampanye politik yang melibatkan masyarakat dijadikan cara utama untuk menarik perhatian dan suara dari konstituen yaitu masyarakat daerah setempat. Terbatasnya waktu kampanye yang disediakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), memaksa pasangan calon beserta tim kampanyenya untuk merencanakan strategi kampanye politik secara efektif agar dapat menjangkau seluruh masyarakat di daerah pemilihan (dapil).
Jenis komunikasi yang dianggap sesuai untuk memenuhi kebutuhan itu adalah komunikasi massa, sehingga saluran komunikasi yang paling banyak digunakan dalam kampanye politik adalah media massa. Media massa dipilih karena memiliki kekuatan untuk menjangkau khalayaknya secara luas dan serentak.
Jika dicermati apa yang dilakukan partai dan para calegnya di Indonesia dalam mengkampanyekan diri mereka, maka dapat dipetakan dalam beberapa hal:
pertama, pola komunikasi tidak langsung masih menjadi primadona. Saluran yang banyak dipilih oleh kandidat di Indonesia untuk mensosialisasikan diri adalah baleho, kalender, dan stiker. Komunikasi politik melalui media baleho, masih dianggap cara paling ampuh oleh mayoritas kandidat untuk menyampaikan visi politiknya. Pola komunikasi seperti ini bisa disebut komunikasi tidak langsung karena tidak ada ruang untuk berdialog. Dan dari kebanyakan baleho yang hadir lebih cenderung untuk menampilkan profil si kandidat ketimbang program kerja yang kelak akan dibuat.
Komunikasi tidak langsung seperti ini di samping berjangka pendek juga sesungguhnya tidak menarik bagi pemilih karena mereka tak bisa mengenal lebih jauh sosok kandidat yang hadir senyum terkembang itu lebih jauh. Bahkan kebanyakan tidak ada satu pun warga di tempat baleho dipasang yang mengenal sang kandidat.
Kedua, memberikan harapan yang terlalu tinggi. Harapan-harapan atau mimpi yang ditawarkan kandidat kepada calon pemilih terkadang tidak masuk akal. Banyak caleg yang tidak mengetahui tugas pokok dan fungsi anggota legislatif lalu kemudian menawarkan berbagai program yang sebenarnya bukan ranahnya kepada masyarakat. Ada caleg yang berjanji mau merenovasi gedung, ada yang janji mau membangun sekolah dan rumah ibadah, ada yang janji akan membenahi pendidikanlah, bahkan ada yang mau buat stadion segala.