MATASULSEL, OPINI – Sejak populernya media sosial, kita seolah tak lagi sungkan membagi kehidupan pribadi ke publik. Mulai dari makan, nongkrong, bangun tidur, rasanya seluruh dunia harus tahu apa yang kita lakukan dan juga kita miliki itu keren.

Melihat fenomena seperti ini rasanya wajar jika saya mengatakan bahwa kebiasaan senang posting kehidupan pribadi, termasuk barang-barang yang kita punyai, sebagai perilaku pamer dan narsistik.

Diskursus tentang fenomena sosmed ini juga menuai pro dan kontra. Di lain pihak, banyak juga orang yang menganggap sah-sah saja kita mengekspos kehidupan pribadinya di akun miliknya, ada juga yang mengkritik kebiasaan mengupload sebagai hal yang berdampak buruk bagi kejiwaan

seperti dilansir Laman The Times Of India menyebutkan bahwa ada bebrapa dampak buruk bagi kejiwaan manusia diantaranya:

1. Kecanduan

50 persen remaja yang sering menggunakan media sosial beberapa kali sehari. Jika terus menerus dilakukan dalam durasi yang lama tentu akan menggangu kehidupan sehari-hari. Mampu membuat seseorang sedikit melupakan siapa dirinya di dunia nyata, karena kesibukannya menggunakan media sosial.

2. Perilaku Anti Sosial

Terlalu asyik di dunia maya membuat seseorang lupa akan dirinya, sehingga bila tanpa disadari mundur dari kehidupan sosial yang sesungguhnya.

3. Cyberbullying

Sebagian besar pengguna media sosial ialah para remaja yang berumur kurang dari 30 tahun. Menurut penelitian, 95% remaja pernah melihat adanya bully di media sosial. 33% remaja pernah melakukan dan mendapatkan bully di media sosial.

4. Masalah Percaya Diri

Riset dari beberapa studi mengemukakan saat terjadi peningkatan interaksi di media sosial, terjadi penurunan rasa percaya diri di dunia nyata.

Seperti yang dimuat Kompas.com (13/10/2015), mengungkapkan bahwa mengunggah gambar dari Boarding Pass pesawat ke sosial media ternyata dapat membahayakan.

Brian Krebs ahli Keamanan Cyber dalam Blognya menulis bahwa dari sebuah foto Boarding Pass, ada banyak hal yang dapat diketahui tentang data pribadi seseorang. Ini bisa diketahui dari Barcode yang ada pada Boarding Pass.

Barcode yang tertera di Boarding Pass, seseorang dapat mengetahui bandar udara asal dan bandar udara tujuan seseorang. Selain itu, pencuri data juga dapat mengetahui tentang nomor Frequent Flyer Program (FFP). Pencuri data hanya perlu memiliki pembaca barcode.

barcode (ilustrasi)

Lalu, apa yang dimaksud dengan FFP? FFP singkatan dari Frequent Flyer Program ialah program yang diberikan oleh maskapai penerbangan untuk meningkatkan loyalitas pelanggan dengan memberikan poin setiap kali seseorang menggunakan pesawat maskapai tersebut. Poin tersebut bisa di tukarkan juga dengan berbagai hadiah.

Nomor FFP dapat digunakan untuk mengakses akun pribadi seseorang. Tim Stenovec dari Tech Insider, dapat digunakan untuk mengubah rencana perjalanan dan menyarankan jika ingin tetap pamer pastikan bagian barcode dari Boarding Pass tidak terlihat.

Selain itu dikutip dari halaman Kompas.com (12/04/2016), Menurut pengamatan psikolog Vierra Adella M.Psi, saat ini nilai-nilai yang dianut mayoritas orang memang ketenaran.

Media sosial memberi ruang bagi kita untuk menunjukkan diri dan juga ada “penontonnya”.

“Yang sehat itu kalau kita punya kompetensi tertentu untuk dibanggakan. Kalau skill-nya biasa-biasa saja maka dia butuh atribut, yaitu barang-barang duniawi,” kata psikolog yang biasa disapa Adella itu.

Barang-barang bagus, lokasi liburan, hingga makanan di restoran yang kerap dipamerkan seseorang di media sosial, menurut Adella dianggap sebagai pelengkap kepribadian.

Ketika seseorang mampu membeli barang-barang mahal, ia berharap gengsinya akan naik di lingkungannya. Apalagi kalau banyak teman-teman di media sosial yang merasa kagum dan iri.

Fenomena tersebut kemudian ditangkap oleh dunia bisnis sehingga lahirlah konsumerisme. Setiap produk yang baru ditawarkan sebagai gaya hidup modern dan langsung ditangkap oleh konsumen tanpa berpikir panjang.

Perlu diketahui bersama, mengunggah foto ataupun tulisan di medsos bisa menentukan lulus tidaknya seseorang ketika melamar pekerjaan, karena biasanya pihak perusahaan akan meminta mengisi biodata lengkap pelamar beserta Id akun medsos. Tujuannya agar mengetahui apa saja aktivitas pelamar di jejaring sosial.

Menurut riset yang dipublikasikan di situs World Economic Forum, perusahaan akan memeriksa latar belakang dan identitas pribadi para pelamar pekerjaan. Jadi, jika Anda pernah mengunggah foto mabuk atau memfolow akun yang mencuri foto perempuan tanpa persetujuan, berhati-hatilah. Bisa jadi Anda tidak akan diterima bekerja.

Karena akses infromasi kebanyakan diperoleh di medsos, dalam Kacamata Jurnalistik sendiri, fenomena penyebarluasan informasi di medsos harusnya berupa wacana yang konstruktif (membangun). Alasannya, informasi yang tersebar adalah konsumsi publik dan salah satu tools membangun opini publik.

Mestinya informasi yang dipublish di medsos harus melengkapi kaidah penulisan informasi yang akrab kita sebut 5W + 1H. Yang kedua informasi yang disebar di medsos haruslah berguna kepada pembaca. Ketiga, sifat informasi yang faktual bukan berupa gosip.

Penulis: Karman Kurniawan (Sekum Himpunan Mahasiswa Islam Korkom Perintis Cabang Makassar)