[OPINI] Menggandeng Nama Daerah Demi Keuntungan, Spekulasi Dibalik Bisnis Oleh-oleh Kekinian Selebriti
Membawa pulang oleh – oleh rasanya seperti hal wajib untuk sebagian besar orang Indonesia yang bepergian keluar kota atau negara lain. Apalagi kalau yang pergi ibu- ibu, dipastikan list belanjaan oleh- olehnya sangatlah banyak.
Beberapa tahun terakhir ini bisnis oleh-oleh khas daerah memang sedang menjadi primadona dikalangan artis. Tak heran jika kemudian banyak artis yang terjun ke dunia bisnis oleh-oleh khas daerah khususnya oleh-oleh kekinian yang memang sedang hits.
Teuku Wisnu dengan Malang Strudel nya yang pertama mempelopori bisnis tersebut lalu dilanjut dengan Jogja Scrummy dari Dude Herlino. Tak mau ketinggalan pasangan suami istri Zaskia Sungkar dan Irwansyah pun membuka Surabaya Snowcake dan Medan Napoleon.
Kemudian ada Irfan Hakim dan Ricky Harun sama-sama menyasar kota Makassar dengan jenis oleh-oleh Makassar Baklave dan Bosang Makassar.
Beberapa tahun terakhir para artis tengah ramai membuka bisnis kuliner (oleh-oleh khas daerah). Yang menarik bukan karena bisnis kulinernya, namun karena pola baru yang bisa kita lihat dari tren satu ini. Masing-masing publik figur hanya membuka bisnis di salah satu kota saja di Indonesia, terutama kota-kota besar atau kota dengan potensi wisata tinggi.
Tak masalah membangun bisnis kuliner (oleh-oleh khas daerah), namun ada apa dengan fenomena artis yang mengeklaim dagangan barunya sebagai oleh-oleh khas daerah tersebut?
Berbisnis kuliner merupakan hak semua orang, termasuk para artis-artis. Namun mulai terasa ada yang patut dipertanyakan ketika bisnis kekinian ini kemudian dilabeli dan diklaim sebagai oleh-oleh khas daerah tertentu.
Hampir di setiap daerah sudah memiliki makanan oleh-oleh khasnya masing-masing. Dan tidak sembarangan, rata-rata merupakan hasil warisan sejarah tradisional dengan nilai istimewa dan sifat khas yang tidak dimiliki daerah lainnya. Beberapa bahkan punya nilai filosofi mendalam sehingga meskipun sudah kuno tetap tak bisa lepas dari citra daerah tersebut.
Lantas darimana munculnya produk-produk baru tanpa latar belakang sejarah berani menobatkan diri sebagai oleh-oleh khas daerah tertentu? Ironisnya lagi hampir semua produk ini merupakan makanan dengan resep dari mancanegara, pertanyaan kemudian di mana ciri khas sebuah produknya?
Menggandeng nama daerah di brand bisnis demi kepentingan meraup untung terlihat seperti langkah yang rakus. Apalagi beberapa di antaranya memberi label-label yang terasa menggiring. Misalnya “Jangan mengaku sudah ke kota A kalau belum beli kue jualan artis X” tagline tersebut memiliki kesan seolah mengancam? Padahal seberapa erat ikatan si artis dengan daerah tempat ia membuka bisnis saja kadang masih perlu dipertanyakan.