MATASULSEL, OPINI – Kepemimpinan indonesia saat ini tengah “diamuk” badai korupsi. Hal ini mengakibatkan gerak pemerintahan terhambat dalam mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana yang diamanahkan oleh konstitusi yakni, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut andil dalam melaksanakan ketertiban dunia (pembukaan UUD 1945 alinea ke IV) .

Setelah sempat menurun, praktik korupsi kembali marak dalam dua tahun terakhir. Kondisi tersebut menunjukkan kurang efektifnya pemberantasan korupsi, yang menyebabkan koruptor tak pernah jera dan selalu memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi.

Berdasarkan data yang dilansir Kompas.com (18/08/2014), tren korupsi tersebut terindikasi dari perkembangan jumlah kasus dan tersangka korupsi selama periode 2010-2014. Berdasarkan data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW), Minggu (17/8), jumlah kasus korupsi cenderung menurun selama 2010-2012, tetapi kembali meningkat pada 2013-2014.

Melihat fenomena tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa sampai hari ini bangsa Indonesia masih terjebak dalam bayang bayang korupsi.

Dalam perspektif kepemimpinan sendiri, mekanisme demokrasi rasanya belum maksimal karena pelaksanaannya yang masih sangat prosedural. Sehingga yang setiap hari muncul dipermukaan dari para pemimpin negeri hanyalah pencitraan semata, kepentingan pribadi dan bagaimana membangun kelompoknya. Polanya sama “apa programnya dan mana rewardnya”. Beban moril atas amanah yang diembang sebagai perwakilan rakyat sudah pudar.

Baca juga: Medsos dan Dampak Penyebaran informasi

Dengan alasan tersebut maka muncullah Persepsi publik tentang kepemimpinan saat ini yang nyaris diambang nadir. Sinisme masyarakat tidak bisa disalahkan, stigma negatif terbentuk berdasarkan apa yang yang dipertontongkan dan diberitakan media tentang eskalasi ketidakberhasilan pemimpin saat ini.

Saatnya generasi muda mengambil peran, Idealisme mereka belum ternodai, diskusi dan analisis obyektif pada lingkungan perkuliahan sangat relevan diaktualisasikan sebagai gagasan solutif atas merosotnya angka kepercayaan publik terhadap pemimpin sekarang. Mereka (Kaum muda) apabila diamanahkan tanggung jawab akan berorientasi pada penyelesaian yang melebihi target.

Seperti yang dilansir (indonesiana.tempo.co, 18 februari 2017). Anies Baswedan selaku promotor indonesia mengajar menyebutkan bahwa ada banyak anak muda kita yang menjadi pemimpin dan mengambil peran yang berdampak baik pada masyarakat namun mereka tidak memiliki jabatan apa-apa dan tidak mendapatkan bayaran apa-apa. Orang baik inilah yang seharusnya didorong masuk ke dalam negara”.

Sebagai generasi muda dijebak pada paradigma dan mentalitas yang pesimistis. Seperti kebanyakan slogan-slogan yang terpampang lebar ditiap sudut gerbang kampus pada momentum penyambutan mahasiswa baru. “selamat datang pemimpin masa depan”. Itu doktrin yang tidak relevan. Pemimpin itu sekarang, bukan dimasa yang akan datang. pada skala yang sangat sempit, setiap dari kita sebagai generasi muda adalah pemimpin diri kita sendiri.

Untuk melakukan sesuatu tdk harus jadi “seseorang”. Untuk berbuat sesuatu bisa jadi orang biasa saja. Generasi muda harus ditanamkan perasaan kepemilikan atas masalah, mereka ditantang untuk memiliki dan mengelola masalahnya dan menjadi bagian dari solusi. Membangun kembali kepercayaan publik tidaklah mudah. Untuk mewujudkan dibutuhkan authentic leadership yang berorientasi pada kemampuan memimpin dan menggerakkan. Setiap arah gerak kepemimpinan mengarah pada tercapainya kepentingan bersama, sehingga sangat relevan apabila dalam proses kepemimpinan dapat melibatkan semua pihak sebagaimana konsep gotong royong yang dipraktekkan oleh para pemimpin terdahulu.(*)

Penulis: Musliadi (Mahasiswa Teknik Industri Universitas Islam Makassar)