Penanganan Tindak Pidana Pornografi oleh Polres Jeneponto Sesuai SOP
JENEPONTO, MATASULSEL – Menanggapi isu yang beredar di media sosial mengenai penanganan perkara tindak pidana pornografi, Kepolisian Resor (Polres) Jeneponto menegaskan bahwa seluruh proses hukum yang dilakukan telah mematuhi ketentuan yang berlaku, khususnya berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Kasat Reskrim AKP Syahrul Rajabia menjelaskan bahwa proses penanganan perkara dimulai dengan langkah penyelidikan awal oleh penyidik. Setelah serangkaian tindakan dilakukan, penyidik melaksanakan gelar perkara untuk meningkatkan status penanganannya dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan.
Dalam tahap selanjutnya, kata Syahrul penyidik melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap para saksi, termasuk saksi terlapor dan saksi ahli pidana. Setelah semua pemeriksaan selesai, kembali dilakukan gelar perkara untuk menetapkan status hukum terhadap terlapor.
“Penetapan ini dilakukan berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah, sehingga status terlapor dapat ditingkatkan menjadi tersangka,” ujar Kasat Reskrim AKP Syahrul Rajabia, Selasa (15/7/2025).
Sebagai upaya untuk memperkuat pembuktian, penyidik juga melakukan penyitaan barang bukti, yang kemudian dikirim ke Laboratorium Forensik (Labfor) Makassar untuk pengujian digital. Hasil dari uji laboratorium tersebut telah diterima oleh pihak penyidik, tambahnya.
Tersangka yang dikenal sebagai “FTN” dijerat dengan Pasal 4 ayat (1) Jo Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Pasal tersebut mengatur larangan terhadap produksi, penyebaran, dan penyediaan materi pornografi dalam bentuk apapun.
Terkait dengan perkara “JYC,” yang merupakan limpahan laporan dari Bid Propam Polda Sulsel, proses pemberkasan sedang berlangsung dan akan diajukan ke persidangan setelah dianggap siap.
Polres Jeneponto menekankan bahwa penanganan perkara dilakukan secara profesional, transparan, dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Pihak kepolisian juga mengimbau kepada masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang belum terbukti keakuratannya atau yang tidak sesuai dengan fakta hukum yang ada. (*)