“Kami tidak menerima informasi lebih lanjut mengenai penyidikan terkait locus delicti kematian Virendy berdasarkan hasil investigasi pihak kuasa hukum. Pihak Penyidik cenderung ‘memaksakan’ lokasi kematian berdasarkan keterangan Ketua Mapala FT Unhas, sekalipun tidak didukung bukti dan saksi yang menguatkan,” ungkap Yodi Kristianto.

Hal ini sangat disayangkan sebab fakta baru tersebut menurut pihak kuasa hukum dapat menjadi titik terang dalam penyidikan kasus Virendy, terutama petunjuk dalam mengungkapkan tersangka.

“Sebagian saksi di Malino bahkan bisa menunjuk langsung salah satu senior Mapala FT Unhas yang diduga kuat adalah tersangka utama dalam kasus kematian Virendy. Karenanya kami sangat mendesak pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus ini tanpa mengabaikan pendapat profesional kami yang berguna dalam proses penyidikan,” tegasnya.

Ia juga mengatakan, pihaknya menelusuri sejumlah kasus yang ditangani oleh pihak kepolisian yang terkait dengan Mapala. Salah satunya adalah kasus yang menewaskan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin yang hampir mirip dengan kasus Virendy.

“Pihak Penyidik menyimpulkan bahwa korban meninggal akibat penyakit bawaan, padahal awalnya juga diduga meninggal akibat penganiayaan,” ujar Yodi Kristianto.

Tidak ada yang mempertanyakan hasil autopsi pihak Biddokkes Polda waktu itu (baca : mungkin tidak didampingi kuasa hukum).

Tetapi sejauh investigasi kami di lapangan setidaknya ada dua kasus (termasuk kasus Virendy) kematian mahasiswa dalam enam bulan terakhir.

Kasus terakhir sebelum Virendy adalah kematian mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia, dalam diksar Senat Mahasiswa dengan dugaan penganiayaan (dilaporkan sang Ayah yang juga adalah salah satu dosen di Universitas tersebut) tetapi juga mendapat keterangan resmi dari pihak kepolisian bahwa tidak ditemukan adanya unsur penganiayaan padahal ditemukan juga luka dan lebam pada tubuh korban.

Sangat wajar jika sejauh ini berbagai pihak meragukan kredibilitas kepolisian dalam menangani perkara kematian Virendy termasuk kami pihak kuasa hukum mengingat kasus-kasus serupa yang ditangani.

Hal lain yang turut menjadi sorotan publik adalah fakta bahwa kasus Virendy telah ditutup oleh pihak Rektorat Universitas Hasanuddin padahal penyelidikan kasus masih berjalan di Kepolisian.

“Kami telah melayangkan peringatan kepada Rektor Unhas agar menghormati proses hukum tetapi malahan pihak kampus menyatakan kepada publik dan media nasional bahwa kasus Virendy telah ditutup dan upaya mencari keadilan oleh pihak keluarga hanya pencitraan belaka,” katanya.

Tindakan yang demikian dapat memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 221 KUHP yaitu upaya menghalangi proses hukum.

“Berbagai intervensi dilakukan guna mempengaruhi pihak keluarga untuk menghentikan proses hukum diluar sepengetahuan kami selaku pihak kuasa hukum, kemungkinan akan kami paparkan secara rinci dalam gelar perkara,” beber Yodi Kristianto.

“Kami sekali lagi mendesak kepolisian untuk bekerja secara profesional dalam kasus ini, mengingat hal yang demikian bukan hanya pertaruhan kredibilitas Polri tetapi kepercayaan publik sepenuhnya,” tutup Yodi Kristianto.**