Penulis: Ferry Tas, S.H., M.Hum., M.Si.

(Asisten Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejati Sulsel/Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Unhas)

Kejaksaan sebagai garda terdepan penegakan hukum dinilai sebagai cahaya harapan ditengah terpaan pesimisme dan kompleksnya persoalan hukum. Kejaksaan membuka harapan dan cakrawala publik bahwa masih ada lembaga yang peka dengan tuntutan rakyat akan penegakan dan pelayanan hukum yang objektif, terencana, terukur dan akuntabel dengan tetap humanis sesuai dengan arahan Jaksa Agung Republik Indonesia, Bapak Prof. Dr. H. Sanitiar Burhanuddin, S.H., M.M. Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan kewenangan penegakan hukum pidana berpedoman dan sangat dipengaruhi oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.

Revisi KUHAP merupakan jalan untuk melakukan perbaikan ataupun reformasi lembaga penegak hukum, agar kewenangan yang dimiliki dilaksanakan secara transparan, bertanggungjawab, dan tidak disalahgunakan atau digunakan secara sewenang-wenang diluar kepentingan penegakan hukum. Tak hanya terbatas pada reformasi kelembagaan, revisi KUHAP juga menjadi momentum menata sistem peradilan pidana terkait dengan kewenangan masing-masing lembaga penegak hukum.

Perkembangan dinamika ketatanegaraan dan arah politik hukum pengaturan hukum acara pidana menjadi isu yang menyita perhatian berbagai kalangan. Hukum acara pidana merupakan rangkaian peraturan yang memuat cara atau prosedur bagi penegak hukum dalam menegakkan hukum pidana materil. Pada dasarnya seseorang yang melakukan perbuatan pelanggaran hukum pidana (hukum pidana materil) tidak hanya berakhir dengan perbuatannya, tetapi juga mempunyai proses dan prosedur hukum yang harus diikuti oleh pelaku, proses dan prosedur inilah hukum acara pidana. Hukum acara pidana memiliki kedudukan yang sangat penting karena berkaitan dengan harkat, martabat, dan hajat hidup orang banyak, bagaimana seseorang akan diperlakukan oleh penegak hukum apabila diduga ataupun melanggar hukum pidana. Maka dalam proses revisi KUHAP yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, mendengarkan banyak pihak, dan mereduksi egosektoral dalam perumusannya. Sering kita dengarkan bahwa demokrasi tanpa hukum itu anarki dan hukum tanpa demokrasi menimbulkan kesewenang-sewenangan. Sejarah selalu mengingatkan bahwa hukum yang dibuat tanpa memperhatikan demokrasi dan aspirasi bisa mengakibatkan kesewenang-wenangan dalam penerapan hukum, hal ini tentu jauh dari tujuan hukum untuk memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.

Berbagai pandangan dan pendapat terus diberikan dalam perumusan KUHAP yang baru sebagai bahan menguji konsep dan gagasan dengan tetap berkiblat pada pendekatan akademik, bukan pendekan egosektoral ataupun kepentingan kelompok tertentu. Perdebatan diperlukan untuk mengasah intelektual secara holistik demi merumuskan kebijakan yang komprehensif. .

Aspek yang paling diperdebatkan adalah kewenangan penyidikan tindak pidana. Konsep ideal pengaturan penyidikan tindak pidana seharusnya berada dibawah kontrol Kejaksaan, tidak hanya terbatas pada penyidikan tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM berat. Namun seluruh tindak pidana baik tindak pidana umum, pidana lingkungan, pidana ekonomi sektor jasa keuangan, pidana kepabeanan dan perpajakan, pidana ketenakerjaan, pidana di sektor kelautan, pidana terorisme seharunsya berada dibawah kontrol Kejaksaan. Hal tersebut dikarenakan penyidikan merupakan bagian dari penuntutan.

Penyidikan dan Penuntutan bersifat inheren, hal tersebut dikarekan segala pekerjaan dari penyidik dalam melakukan proses penyidikan seluruhnya akan menjadi tanggung jawab Jaksa Penuntut Umum di persidangan untuk mempertahankan dan membuktikan. Sejalan dengan sistem hukum civil law di Belanda dan common law di Amerika Serikat, ruang lingkup penuntutan telah dimulai sejak penyidikan dan hanya Kejaksaan yang memiliki kewenangan penuntutan berdasarkan asas single prosecution system, hal tersebut berarti bahwa penyidikan juga merupakan bagian dari kewenangan Kejaksaan dan juga sebagai penerapan asas dominus litis (pengendali perkara) dalam tahap penyidikan dan penuntutan. Hasil pekerjaan dari penyidik dan penuntut umum merupakan satu kesatuan yang akan di check and balance dengan bantahan dari penasehat hukum, kemudian hakimlah yang akan memeriksa dan mengadilinya.

Kejaksaan merupakan institusi penegak hukum yang memiliki kedudukan dan peran strategis dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Kedudukan Kejaksaan sebagai procureur generaal bermakna bahwa Jaksa Agung sebagai Penyidik, Penuntut Umum dan Eksekutor Tertinggi dalam perkara pidana. Hal ini yang diharapkan menjadi bagian penting yang diperhatikan dalam revisi KUHAP yang sedang berjalan.

Gagasan penguatan dan perluasan kewenangan penyidikan yang diberikan kepada Kejaksaan adalah hal sangat penting untuk direalisasikan. Menurut hemat penulis,adanya perdebatan di berbagai ruang diskusi terkait adanya keinginan pihak tertentu untuk memberikan domain penyidikan hanya kepada Kepolisian, adalah suatu pemikiran dan langkah mundur, mengingat tingkat kejahatan dan modus operandi semakin berkembang seiring dengan kemajuan IT dan kejahatan lintas negara (trans national crimes) yang begitu masif maka harus didukung kompetensi penyidik yang memadai, sehingga penegakan hukum dalam bingkai integrated criminal justice system dapat dilaksanakan secara maksimal dengan memposisikan Kejaksaan sebagai pengendali perkara (dominus litis) dalam proses penegakan hukum dengan mengedepankan fungsi kordinasi dan check and balances secara proporsional dan profesional. Dengan demikian, semangat penegakan hukum untuk.mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Indonesia adalah tujuan mulia yang harus kita kerjakan bersama.

Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang diberikan amanat untuk melaksankan tugas dan kewenangan di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kewenangan lain tersebut selain KPK dan Kepolisian, Kejaksaan juga diberi kewenangan untuk menyidik secara mandiri tindak pidana korupsi. Hal tersebut berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 11 Tahun 2021 yang mengatur bahwa, “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”. Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d tersebut antar lain kewenangan dalam penanganan tindak pidana korupsi dan pelangaran HAM berat.

Penanganan Tipikor Kejaksaan

Penanganan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan menunjukkan menunjukkan hasil signifikan, berhasil mengungkap kasus-kasus kakap dan membawanya ke meja hijau untuk diadili, seperti kasus perkara mega korupsi tata kelola pertambangan timah dengan kerugian total sebesar Rp300 triliun yang telah vonis, namun dilakukan banding oleh Kejaksaan.

Berdasarkan data Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan, capaian kinerja Kejaksaan Agung pada 100 hari Kabinet Merah Putih telah menunjukkan pencapain signifikan. Pada tahap penyelidikan yang telah dilakukan sebanyak 403 perkara, penyidikan 420 perkara, penuntutan 667 perkara, eksekusi 53 perkara, banding 136 perkara, kasasi 78 perkara, peninjauan kembali 12 perkara, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp199.154.568.718,00. Telah melakukan penyitaan pada perkara Duta Palma tanah/kebun seluas 221.870,901 Ha, uang tunai Rp6.383.825.724.941, SGD 12.859.605, USD 1,873.677, AUD 13.700, Yuan 2.005, Yen 2000.000, Won 5.645.000, RM 300. selain tanah/kebun dan uang juga telah dilakukan penyitaan terhadap 31 unit kapal jenis Tug Boat dan Tongkang, serta 1 unit Helikopter jenis Bell.

Selanjutnya pada perkara suap dan/atau gratifikasi 3 oknum hakim logam mulia emas seberat 51.0006 gram, uang tunai Rp82.163.332.000, SGD 75.438.256, Sen SGD 267, USD 2.338.962, RM 35.992, Sen RM 25, YEN 100.000, EURO 77.200, SAR 23.215, HKD 483.320. Capaian Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi merupakan implementasi dari kewenangan penyidikan mandiri yang dimiliki Kejaksaan telah menunjukkan efektivitas pelaksanaannya.

Kepercayaan Publik Terhadap Kejaksaan

Sejalan dengan survei kepercayaan terhadap lembaga pemerintah yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada 16-21 Januari 2025 yang dirilis pada Senin 27 Januari 2025 Kejaksaan mecapai angka 79% menempati urutan ketiga di bawah presiden dan TNI, dan menjadi lembaga penegak hukum yang paling dipercaya publik, KPK 72% urutan tujuh dan Kepolisian 69% urutan kesembilan setelah pengadilan 71%. Berdasarkan paparan yang dilakukan oleh Direktur Eksekutir Indikator Politik Indonesia, Prof. Burhanuddin Muhtadi, M.A., Ph.D tingginya kepercayaan publik terhadap Kejaksaan karena berkaitan dengan gebrakan yang dilakukan Kejaksaan, terutama dalam pengungkapan skandal besar tindak pidana korupsi.

Hal ini menunjukkan public common sense (akal sehat publik) lebih cenderung mengatakan bahwa justru akan lebih bermanfaat bagi bangsa dan negara jika kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi Kejaksaan semakin diperkuat, bahkan tak hanya dibatasi pada penyidikan tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM berat. Hal ini tentu menjadi perhatian pembentuk undang-undang untuk tetap mempertahankan kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan berdasarkan hasil yang telah ditunjukkan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurut pepatah masyarakat Minangkabau bahwa “baraja ka nan sudah, batuwah ka nan manang” yang berarti bahwa belajar pada yang sudah, bertuah pada yang menang/sukses, hal tersebut juga sejalan dengan pandangan teologis Islam bahwa meneladani sesuatu yang telah teruji dan mempertahankan sesuatu yang telah memberikan kebaikan dan kebermanfaatan, berdasarkan pengalaman dan mencermati kesuksesan yang diraih selama ini oleh Kejaksaan sudah sepantasnya eksistensi kewenangan penyidikan korupsi dan pelanggaran HAM berat tetap dipertahankan dan ditingkatkan kedepannya.

Kejaksaan di Berbagai Negara

Kewenangan penyidikan tindak pidana pada berbagai negara pada dasarnya dimiliki oleh Jaksa. Di Jepang kewenangan penyidikan dan penuntutan merupakan satu kesatuan yang dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan hukum acara pidana Jepang atau biasa disebut Japan Criminal Procedure Code. Dalam penuntutan di Jepang, penuntut umum berwenang untuk memutuskan untuk menuntut atau tidak menuntut dengan syarat atau tanpa syarat. Penuntut umum dapat pula menyidik sendiri, dapat memerintahkan polisi untuk memulai dan menghentikan penyidikan. Dapat mengambil alih penyidikan atau memberi petunjuk kepada polisi, kemudian dalam menyidik dapat pula dibantu oleh Polisi. Di Belanda kewenangan penyidikan dan penuntutan berada ditangan Dewan Kejaksaan Agung yang bertanggung jawab mengawasi kebijakan penuntutan dan penyidikan terhadap Kepolisian dengan memberikan beberapa arahan misalnya mengenai kejahatan yang harus menjadi priorias investigasi. Di Korea Selatan Kejaksaan terlibat langsung dan erat dalam pelaksanaan seluruh investigasi (penyidikan). Crimininal Procedure Act memberi kewenangan hukum untuk melakukan investigasi sendiri (penyidikan) dan mengarahkan lembaga investigasi. Kewenangan tersebut menjadikan kejaksaan di Korea Selatan memiliki peran yang sangat dominan dalam sistem peradilan pidana. Investigasi dan Penuntutan, Jaksa memiliki tugas menyelidiki kejahatan, melakukan penuntutan publik, dan memelihara proses hukum. Lingkup kejahatan yang dapat diselidiki langsung oleh jaksa mencakup antara lain, Kejahatan signifikan seperti korupsi dan kejahatan ekonomi; Kejahatan yang dilakukan oleh pejabat Kepolisian atau pejabat Kantor Investigasi Korupsi untuk Pejabat Tinggi; Kejahatan yang terkait langsung dengan kejahatan yang disebutkan di atas atau dirujuk oleh pejabat polisi yudisial; Arahan dan Pengawasan; Jaksa bertugas mengarahkan dan mengawasi penyidik polisi khusus dalam penyelidikan kejahatan; Permohonan kepada Pengadilan, Jaksa dapat meminta penerapan hukum yang sesuai kepada pengadilan; Eksekusi Putusan Pengadilan, Jaksa mengarahkan dan mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan; Litigasi Negara, Jaksa dapat mewakili negara dalam perkara litigasi atau mengarahkan dan mengawasi proses tersebut; Tugas Berdasarkan Undang-Undang Lain, Jaksa memiliki wewenang untuk melaksanakan tugas tambahan yang diatur dalam peraturan lain.

Dalam revisi KUHAP hal yang perlu diperhatikan adalah memberikan kewenangan kontrol penyidikan kepada Kejaksaan. pada berbagai negara kewenangan penyidikan tindak pidana pada dasarnya tidak hanya dimiliki oleh satu lembaga. Penguatan kewenangan penyidikan pidana oleh Kejaksaan di Indonesia perlu dioptimalkan, seperti memberi kewenangan untuk memerintahkan penghentian penyidikan atau mengambil alih penyidikan oleh penyidik dengan tujuan memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan dalam penegakan hukum pidana yang lebih terkontrol, karena perlu dipahami bahwa yang akan melakukan penuntutan terhadap hasil penyidikan adalah Jaksa dihadapan pengadilan. Kewenangan Kejaksaan memimpin dan mengontrol penyidikan sejatinya pernah diatur dalam Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR), pengaturan kembali kewenangan tersebut dalam KUHAP baru perlu dipertimbangkan dengan formula yang lebih efektif dalam mendorong optimalisasi penegakan hukum pidana secara profesional, akuntabel, dan tuntas.

 

(Op/FT)