Penulis: Ferry Tass, S.H., M.Hum., M.Si.
(Pengamat & Praktisi Hukum Sulsel)

Kejaksaan Agung Republik Indonesia kembali mencetak sejarah dalam perjalanan panjang pemberantasan korupsi di negeri ini. Dibawah komando Jaksa Agung RI, Bapak Prof. Dr. Sanitiar Burhanuddin, S.H., M.M., Kejaksaan secara konsisten menunjukkan komitmen sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi di Indonesia. Penyitaan terhadap uang senilai Rp11,8 Triliun terkait kasus korupsi persetujuan ekspor crude palm oil (CPO) minyak kelapa sawit periode 2021-2022 yang menjerat korporasi Wilmar Group mengundang atensi publik. Penetapan Penyitaan Uang tersebut dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Penetapan Nomor: 40/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst tertanggal 4 Juni 2025.

Besarnya nilai uang yang disita dan ditampilkan pada release press conference menimbulkan spekulasi publik terkait dengan keberadaan dan kelanjutan terkait uang hasil sitaan tersebut. Uang senilai Rp11,8 Triliun saat ini dititipkan pada rekening penitipan Kejaksaan pada Bank Mandiri. Jadi terhadap uang tersebut tidak disimpan oleh pihak Kejaksaan, melainkan dititipkan pada rekening penitipan Kejaksaan untuk menunggu Putusan Hakim terkait eksekusi uang sitaan tersebut.

Berbagai Pencapaian dan kontribusi Kejaksaan merupakan kerja keras seluruh Insan Adhyaksa atas harapan dan kepercayaan masyarakat yang mengantarkan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum paling dipercaya publik. Benarlah kata pepatah bahwa “semakin tinggi pohon, maka semakin kencang angin menerpanya”, pepatah tersebut mengingatkan bahwa setiap pencapain ataupun keberhasilan yang diperoleh selalu beriringan dengan kerasnya ujian yang dihadapi. Hal inilah yang dialami Kejaksaan, ditengah gencarnya mengejar tikus-tikus berdasi dan penjahat kerah putih (white collar crime) yang menggerogoti uang rakyat, narasi menyesatkan juga digiring oleh para koruptor untuk menyesatkan publik. Salah satu narasi menyesatkan terkait penyitaan yang dilakukan oleh Kejaksaan terhadap Aset Tersangka/Terdakwa tindak pidana korupsi. Narasi disebar bahwa uang/aset/benda berharga sitaan dari terduga koruptor masuk kantong oknum Aparat Hukum. Perbuatannya sengaja membangun narasi negatif tentang Kejaksaan termasuk merusak reputasi aparatur Kejaksaan.

Penetapan Tersangka terhadap Direktur Pemberitaan JAK TV Tian Bahtiar bersama dengan dua Advokat, Marcella Santoso dan Junaedi Saibih yang juga menyuap tiga hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Rp60 miliar adalah contoh konkrit. Bagaimana narasi dikembangkan untuk menciptakan pemberitaan negatif yang bertujuan melemahkan proses hukum yang sedang berjalan. Tian Bahtiar diduga menerima dana sebesar Rp478 juta dari kedua Advokat tersebut untuk memproduksi konten dan berita yang menyudutkan Kejaksaan. Konten tersebut disebarkan melalui platform Jak TV, media sosial, hingga acara talk show dan seminar di sejumlah kampus.

Penting untuk memahami nilai ajaran Islam bahwa terhadap suatu berita ataupun narasi sangat perlu untuk bersikap tabayyun. Tabayyun adalah memilah antara yang benar dan yang salah. Kata fatabayyanuu bermakna “periksalah dengan teliti”, maksudnya teliti atas informasi. Dengan demikian, tabayyun tidak menerima mentah-mentah informasi yang diterima sebelum diverifikasi secara holistik. Hal tersebut juga sejalan dengan Falsafah Masyarakat Minangkabau bahwa “Panakiak pisau sirawuik, Ambiak galah batang lintabuang, Silodang ambiah ka niru, Nan satitiak jadikan lauik, Nan sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadi guru”, yang bermakna bahwa manusia selalu berusaha menyelidiki, membaca, serta mempelajari ketentuan-ketentuan, dan hendaknya manusia selalu berusaha menggali dan menganalisis suatu permasalahan atau ilmu sampai menemukan kesimpulan yang dapat digunakan/benar dan berguna bagi manusia.

*Penyitaan Dalam Proses Hukum*