Penyitaan Dalam Tindak Pidana Korupsi
Pernyataan Wilmar International Limited yang dilansir banyak media menyebut dana Rp11,8 triliun yang disita sebagai dana jaminan merupakan pernyataan yang tak berdasar, karena tidak ada istilah uang jaminan dalam penanganan perkara korupsi. Apalagi ditambah pernyataan pihak Wilmar bahwa uang tersebut ditempatkan secara sukarela, perlu dipahami bahwa uang yang disita merupakan hasil penetapan hukum, bukan penempatan sukarela.
Penyitaan dilakukan untuk mengamankan barang/benda yang berkaitan dengan tindak pidana agar tidak disalahgunakan, dimusnahkan, atau dipindahkan yang dapat menghambat pengungkapan perkara pidana. Definisi Penyitaan telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, pada pokoknya untuk mengambil alih dan/atau menyimpan benda bergerak atau tidak bergerak untuk kepentingan proses hukum. Terkait dengan benda yang dapat disita diatur dalam Pasal 39 KUHAP diantaranya benda yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh atau sebagai hasil dari tindak pidana. Penyitaan sebagai upaya paksa juga dapat dilakukan ditingkat penuntutan seperti penyitaan uang Rp11,8 triliun di kasus Wilmar Grup. Selain tahap penyidikan, penyitaan juga dapat dilakukan pada proses penuntutan. Bahkan dalam perkara tindak pidana pencucian uang jika masih ada harta yang belum disita, maka hakim dapat memerihtahkan Penuntut Umum melakukan penyitaan.
*Eksekusi dan Pemulihan Aset*
Eksekusi terhadap Benda/barang sitaan menjadi kewenangan Kejaksaan dalam perkara korupsi, terhadap benda/barang sitaan yang memiliki nilai ekonomi dapat dijadikan bagian penyelamatan keuangan negara. Korelasi penyitaan dan eksekusi menjadi inheren dan strategi yang digunakan oleh Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi kontemporer, tidak hanya berfokus penghukuman badan, namun melihat penyelamatan keuangan negara sebagai bagian penting pemberantasan korupsi.
Eksekusi terhadap benda/barang bukti oleh Jaksa dilakukan berdasarkan pada Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Terhadap barang/benda yang telah disita sebelumnya maka pada tahap eksekusi dapat dikembalikan kepada Terdakwa, dikembalikan ke pihak benda disita, dimusnahkan atau dirampas untuk negara sesuai dengan Putusan Hakim. Jika Putusan Hakim memerintahkan dirampas untuk negara, maka untuk barang yang tidak berupa uang seperti kendaraan, rumah, tanah dan lainnya yang memiliki nilai ekonomis harus dilakukan proses lelang oleh kantor lelang negara. Sementara benda sitaan berupa uang dan juga uang hasil pelelangan barang sitaan akan dilakukan penyetoran ke kas negara dan menjadi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang penggunaan selanjutnya akan menjadi hak pemerintah sesuai proses pengelolaan keuangan negara dalam APBN/APBD.
Sebagai upaya penyelamatan keuangan negara, strategi yang dilakukan Kejaksaan tak hanya sebatas penyitaan. Berdasarkan Pasal 3OA UU No. 11 Tahun 2021 secara tegas mengatur bahwa , “Dalam pemulihan aset, Kejaksaan berwenang melakukan kegiatan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak”. Dasar hukum tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan Badan Pemulihan Aset Kejaksaan Agung dan pada tingkat Kejaksaan Tinggi akan dibentuk Asisten Pemulihan Aset. Lahirnya Badan Pemulihan Aset merupakan mandat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2021 yang selanjutnya secara teknis diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2024.
Badan Pemulihan Aset diharapkan dapat memaksimalkan pemulihan kerugian keuangan negara dan/atau kerugian perekonomian negara sehingga aset hasil tindak pidana korupsi dimanapun disembunyikan dapat secara maksimal dikejar dan dirampas untuk kepentingan negara dan masyarakat. Tidak ada tempat aman bagi koruptor dan aset hasil korupsinya dari kendali Kejaksaan. (*)