Oleh : Nurul Tanjung
(Program Officer PATTIRO, Mahasiswi Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB University)

JAKARTA, matasulsel.com – Dalam memperingati Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD) Tahun 2025, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) mengadakan Forum Perempuan Bicara EFT.

Kegiatan ini bertujuan untuk memfasilitasi ruang pembelajaran dari para tokoh maupun penggerak perempuan yang berasal dari pemerintah, organisasi masyarakat sipil maupun komunitas mengenai peran, tantangan dan peluang perempuan dalam memperkuat advokasi pembangunan lingkungan dan Kehutanan.

Pada momentum ini, Program Officer Program SETAPAK PATTIRO, Nurul Tanjung berkesempatan mewawancarai Ibu Luckmi Purwandari, ST, M.Si yang baru dilantik sebagai Kepala Pusat Pengembangan Generasi Pelestari Hutan (Pusgenri), Kementerian Kehutanan.

Sebelum menjabat di Kemenhut, alumni Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB ini merupakan Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sesuai dengan tema IWD 2025 “Accelerate Action atau Percepat Aksi”, wawancara kali ini berbincang mengenai kebijakan Kementerian Kehutanan untuk mendorong perempuan dan generasi muda dalam aksi pengelolaan hutan. Wawancara di lakukan di Hutan Kota Manggala Wanabakti yang berada di komplek perkantoran Kementerian Kehutanan.

Bagaimana kebijakan Kementerian Kehutanan saat ini dalam mendorong peran perempuan dan generasi muda dalam Pengelolaan Hutan?

Di tingkat kebijakan, sudah ada regulasi yaitu Peraturan Menteri LHK Nomor 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial yang secara eksplisit mendorong berbagai pihak, termasuk perempuan dan generasi muda dalam pengelolaan perhutanan sosial. Peraturan tersebut mendukung kesetaraan gender, dimana terdapat beberapa pasal seperti Pasal 90 tentang pemegang persetujuan pengelolaan HD, HKm, dan HTR, berhak mendapat perlakuan yang adil atas dasar gender ataupun bentuk lainnya; Pasal 107 ayat 3 disebutkan rencana pengelolaan PS disusun dengan memperhatikan kearifan lokal, potensi hutan, peluang pasar dan aspek pengarusutamaan gender serta mempertimbangkan rencana pengelolaan hutan jangka panjang; Pasal 189 ayat 4 menyebutkan kesetaraan gender menjadi salah satu aspek sosial yang diperhatikan dalam evaluasi kegiatan pengelolaan perhutanan sosial.

Secara umum, regulasi ini menunjukkan pengelolaan perhutanan sosial yang diarahkan untuk lebih inklusi.

Dalam implementasinya, perempuan dan generasi muda juga dapat berkontribusi dalam perhutanan sosial, salah satunya terlibat dalam digitalisasi dan pemasaran berbagai produk dan ekowisata dari hutan sosial. Usia rata-rata petani Indonesia saat ini adalah 56 tahun. Dengan skema perhutanan sosial yang berlangsung selama 35 tahun, ada kebutuhan untuk menyerahkan tongkat kendali perhutanan sosial khususnya kepada generasi muda.

Kementerian Kehutanan juga mendorong anggaran pemerintah berkontribusi langsung pada pencapaian pemberdayaan perempuan, misalnya dengan melakukan Anggaran Responsif Gender (ARG) atau anggaran khusus untuk pengarusutamaan gender di masing-masing Eselon 1.

Apa tantangan utama yang dihadapi perempuan dan generasi muda dalam mengakses dan berpartisipasi dalam program kehutanan?

Pertama, Akses terbatas terhadap informasi dan sumber daya. Informasi mengenai program kehutanan sering kali tidak tersebar secara merata, terutama di daerah terpencil. Kedua, perempuan sering kali memiliki beban ganda, yaitu mengurus rumah tangga dan bekerja di ladang, sehingga memiliki waktu yang lebih sedikit untuk berpartisipasi dalam program kehutanan. Ketiga, kurangnya keterlibatan dalam pengambilan keputusan sehingga program kehutanan kurang responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan mereka.

Dalam kepengurusan Kelompok Tani Hutan (KTH), partisipasi perempuan masih minim, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kurangnya kepercayaan diri perempuan, kurangnya dukungan dari keluarga, dan dominasi laki-laki dalam pengambilan keputusan. Keempat, Kelompok perempuan dan pemuda yang menghasilkan produk dari hasil hutan sering kali mengalami kesulitan dalam mengakses pasar. Hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi tentang pasar, kurangnya jaringan pemasaran, dan kurangnya modal untuk mengembangkan usaha.
Kelima, kurangnya minat generasi muda pada sektor kehutanan menjadi tantangan tersendiri. Generasi muda cenderung melihat sektor kehutanan sebagai sektor yang kurang menjanjikan.