“Buktinya adalah sebagian bupati atau walikota atau gubernur masih lebih banyak program bidang kesehatan seputar pembangunan rumah sakit dan atau pembelian alat-alat kedokteran yang biayanya cukup mahal. Lalu dimana yang salah?”tambahnya.

Prof.Sukri, yang juga guru besar bidang kebijakan kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin berasumsi bahwa pertama, program kebijakan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif perlu dioperasionalkan lebih detail sehingga dapat membantu pada saat penyusunan program dan anggaran kesehatan. Kedua adalah bahwa ini persoalan otonomi daerah sehingga perlu banyak melakukan advokasi ke pemerintah daerah.

Dr.Aminuddin Syam,SKM,M.Kes., M.Med.Ed. sebagai Ketua Dewan Etik Persakmi Sulsel yang juga sebagai Dekan FKM Unhas mengatakan bahwa program preventif dan promotif ini harus mengacu pada definisi kesehatan masyarakat yang didefiniskan oleh Winslow pada tahun 1920 yaitu program yang bertujuan mencegah penyakit, memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental, efisiensi melalui usaha masyarakat yang terorganisir.”

“Karena itu prinisp dari promotif dan preventif tersebut bekerjanya di hulu bukan di hilir, bekerjanya pada faktor risiko dan determinan kesehatan bukan pada saat sakit. Kalau orang sudah sakit biayanya menjadi lebih mahal.

Tim diberikan waktu kurang lebih 2-3 minggu untuk menyusun program-program promotif dan preventif yang akan menjadi acuan para tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat promotif dan preventif. Program ini akan dibahas secara marathon kedepan dan akan dijadwalkan advokasi ke pemerintah pusat dan DPR RI terutama yang membidangi kesehatan.(*)