Jakarta, Matasulsel – Kalau kita bicara RUU tentang klaster ketenagakerjaan, boleh disebut buruh itu atau pekerja butuh jaminan kerja, lalu butuh hidup yaitu upah, lalu butuh jaminan sosial, dan yang terakhir butuh kepastian hukum, kepastian kerja. Itu sudah tidak ada, jadi ini sebetulnya era perbudakan modern kalau itu gol. Dan kalau buruh berdiam berarti menyongsong penderitaan.

Demikian dikemukakan Prof. Dr.Muchtar Pakpahan, S.H, M.A kepada Redaksi di Jakarta seraya menambahkan, Omnibus law betul dapat mengatur sinkronisasi regulasi antar kementrian, tapi itu keuntungan bagi siapa, bagi rakyat sesuai dengan alinea 4 UUD 1945 atau bagi investor.

Jadi kalau dilihat semua rancangan pengaturan dalam RUU ini, yang dibuat namanya jadi RUU Cipta Kerja, sebetulnya RUU ini kalau dilihat nama yang cocok bagi RUU ini adalah RUU Kemudahan Berinvestasi, sekali lagi RUU Kemudahan Berinvestasi. Karena semua arahnya adalah untuk memudahkan membuat orang mudah berinvestasi di Indonesia.

“Dan segala hal pun dikoordinasikan dalam memudahkan masuknya investasi, jadi termasuk mudah mengambil tanah orang, termasuk lingkungan hidup nomer dua, termasuk mengambil; alih kewenangan pemerintah daerah, dan kalau itu jadi termasuk pasal 170 bisa meniadakan undang-undang,”tegas Muchtar Pakpahan.

Menurut Ketua Umum KSBSI ini, penilaian beberapa pakar menilai Omnibus Law menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati menunjukkan pakar-pakar itu tidak membacanya semua, harus dibaca semua. Jadi RUU ini dari sudut proses pembuatannya diburu-buru, kedua dari segi sistematika akan banyak menimbulkan masalah bila undang-undang ini dijadikan, karena undang-undang ini sepertinya satu pasal itu mengcover/mengutip beberapa pasal dari undang-undang lain,saya belum melihat catatan saya, itu berapa undang-undang yang dipaketnya.

Jadi tidak menyatakan kalau dihapus undang-undang lain, misalnya begini undang-undang ketenagakerjaan misalnya, yang diambil dari situ hanya beberapa pasal, lalu beberapa pasal undang-undang no.13 tahun 2003, dari undang-undang no.2 tahun 2004, dari undang-undang No. 21 tahun 2000, lalu kalau misalnya ada 300 pasal hanya diambil 30 pasal lalu yang 270 pasal lagi diapakan? Apa otomatis menjadi tidak berlaku.

“Jadi kita negara jaman baheula kalau begitu, ada hal-hal penting yang tidak diatur. Makanya jadi tidak jelas apakah pasal-pasal yang lain itu masih dinyatakan terpakai atau tidak. Terakhir dari undang-undang omnibus law ini pasal 170, itu saya bisa memperkirakan klau itu diberlakukan terus NKRI menurut saya diambang bahaya, karena kita tidak lagi menjdai negara hukum tapi menjadi negara otoriter, karena semua undang-undang bisa dibatalkan, ditiadakan oleh peraturan pemerintah yang dibuat Presiden, bil;a dilihatnya tidak cocok untuk mencapai tujuan pasal 4 dari undang-undang cipta kerja ini. Jadi, masa bisa PP membatalkan undang-undang.

Dulu Menkumham sudah mengatakan itu salah kutip, tapi dalam pembahasan maju terus, salah kutip kok maju terus, berarti ada niat, ada niat untuk memberi kewenangan yang sangat tinggi dan sangat luas yang tidak terjangkau yang memudahkan investasi kepada Presiden. Jadi semua undang-undang lain bisa dibatalkan oleh Presiden sepanjang melancarkan pasal 4 RUU Cipta Kerja,” ujar aktifis senior buruh yang sudah terkenal kritis pemikirannya sejak Orde Baru ini.

Ketika ditanya Redaksi, apa langkah yang harus dilakukan pemerintah dan DPR agar Omnibus Law diterima masyarakat, Muchtar Pakpahan memberi saran yaitu pemerintah harus transparan, terbuka, nah kalau ini dulu sembunyi-sembunyi. Kedua karena dia ada 9 klaster, maka dia harus melibatkan 9 stakeholder dari klaster itu, kami salah satu klaster dari 9 klaster itu, klaster ketenagakerjaan, dan itu dibuka selebar-lebarnya untuk melibatkan peranan, karena kalau tidak akan tetap menunggu-nunggu ini terakhir di Mahkamah Konstitusi, kalau tidak bisa perlawanan seperti bisa juga tiba-tiba terjadi revolusi, tidak tahu kita.

“Dulu masalah Soeharto saya tulis dalam buku saya, kalau Pak Harto tahun 83, saya bilang Soeharto melanggar undang-undang dasar, tahun 1995 saya terbitkan buku potret Negara Indonesia, saya bilang lakukan reformasi apabila tidak akan ada revolusi, saya ditangkap, 3 tahun kemudian terjadi reformasi. Dan pada waktu itu kalau bisa disebut saya ingin menggerakkan revolusi itu, tapi ternyata saya dipenjara, terjadi juga reformasi itu walaupun saya dipenjara,” ujarnya

Sementara itu, Kahar S. Cahyono menilai regulasi dalam Omnibus Law justru akan mereduksi hak-hak buruh. Setelah kami pelajari, banyak pasal di dalam omnibus law yang justru membuat buruh semakin jauh dari kepastian kerja (job security), kepastian pendapatan (income security), dan jaminan sosial (social security).

“Hal itu, salah satunya tercermin dari menurunnya kualitas seperti hilangnya UMK, UMSK dan UMSP. Dalam RUU Cipta Kerja, upah minimun hanya didasarkan pada Upah Minimum Provinsi (UMP). Hal ini bisa kita lihat dengan adanya penambahan Pasal 88 C yang berbunyi: (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi. Dengan demikian, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK), dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) akan hilang,” ujar Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI ini.

Menurut Kahar S Cahyono, UMP tidak dibutuhkan, kecuali di DKI Jakarta dan Yogjakarta. Karena di luar kedua provinsi itu, yang digunakan adalah UMK dan UMSK. Jika upah minimum hanya mengacu kepada UMP, maka akan ada lebih dari 500 kabupaten/kota yang UMK nya hilang. Ketentuan ini sangat merugikan buruh.

Sebagai contoh, urainya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan UMP 2020 sebesar Rp 1,81 juta. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan UMK di sejumlah kabupaten/kota lain di Jawa Barat. UMK 2020 di Kabupaten Karawang Rp 4.594.324, di Kota Bekasi Rp 4.589.708, sementara di Kabupaten Bekasi sebesar Rp. 4.498.961. “Jika yang berlaku hanya UMP, maka upah pekerja di Karawang yang saat ini 4,59 juta bisa turun menjadi hanya 1,81 juta,” tegasnya.

Selanjutnya Kahar menilai, hilangnya UMK, UMSK, dan UMSP semakin jelas terlihat dengan dihapusnya Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003 dalam RUU Cipta Kerja. Bunyi Pasal 89 Ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 yang akan dihapus dalam RUU Cipta Kerja: Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas: (a) upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; (b) upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

“Dalam Penjelasan Pasal 89 Ayat (1) Huruf b disebutkan, upah minimum sektoral dapat ditetapkan untuk kelompok lapangan usaha beserta pembagiannya menurut klasifikasi lapangan usaha Indonesia untuk kabupaten/kota, provinsi, beberapa provinsi atau nasional dan tidak boleh lebih rendah dari upah minimum regional daerah yang bersangkutan. Lebih lanjut, dalam Pasal 88F RUU Cipta Kerja, kembali ditegaskan bahwa minimum yang berlaku hanya upah minimum provinsi dan upah minimum padat karya: (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (2) dan Pasal 88E ayat (1) berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan. (2) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud pada Pasal 88C ayat (2) dan Pasal 88E ayat (1). Pasal 88C Ayat (2) terkait dengan upah minimum provinsi. Sedangkan Pasal 88E Ayat (1) terkait dengan upah minimum padat karya. Dengan demikian, sangat jelas jika di dalam omnibus law UMK, UMSK, dan UMSP sudah tidak ada lagi,” jelasnya.

Saat ini, saran Kahar S Cahyono, yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah fokus pada penanganan pandemi dan strategi menghadapi darurat PHK. Bukan justru membahas omnibus law. “Oleh karena itu, dalam situasi pandemi ini, kami menolak ikut membahas omnibus law,”(*)

Terbit : Jakarta, 4 Juni 2020.