Rahasia Cinta di Antara Pandemi Covid 19 dan Sikap Keberagaman
Indonesia, Matasulsel – Dunia Islam hari ini hanyalah cerminan dunia Islam di masa lalu. Segala hal yang akan kita temui di masa depan, sejatinya berhulu dari sejarah Islam periode awal.
Kalau hari ini, sebagian umat Islam memahami sekaligus meyakini bahwa agama berbeda dengan sains, pada periode Islam awal, sebagian sahabat juga memiliki sikap seperti itu. Mereka lebih mempercayai kata-kata seorang nabi daripada kata-kata ilmuan di sekitar mereka.”kata-kata nabi sebagai “agama” jauh lebih superior dibandingkan kata-kata ilmuan sebagai “sains”.
Adakah pakar sains yang ikut andil membangun peradaban Islam di era Khulafaur Rasyidin? Adakah pandangan sains pada periode ini yang menganulir “keyakinan agama” yang dihayati oleh keempat Khalifah? Apakah benar keempat Khalifah merupakan sosok yang cerdas dalam bidang agama sekaligus sains?
Kedua ilustrasi di atas, sudah lebih cukup untuk menjawab “kegalauan”, mengapa sebagian kita masih lebih percaya agama daripada sains. Sikap tersebut malah memiliki justifikasi historis.
Nah, dari perspektif ini kita bisa memahami “pembelahan sikap” masyarakat terhadap pademi covid 19. Sebagian memandangnya “hanya” dari sudut agama yang dipahaminya, sebagian yang lain memandangnya “hanya” dari perspektif sains, namun ada juga yang sok religius mengaitkan sains dan agama sekaligus.
Saya justru menemukan “keangkuhan” dalam pernyataan “beragamalah dengan waras”. Berarti pernyataan ini akan berarti “celakalah” mereka yang “beragama dalam ketakwarasan”.
Bukankah, dalam tradisi kaum sufi yang begitu mentereng, kita mengenal sosok-sosok yang justru meluapkan citarasa beragamanya dengan ungkapan-ungkapan ketidakwarasan.
Tokoh seperti Rumi, Al Hallaj, Rabiah Al Adawiyah dan sederet nama sufi besar lainnya, adalah contoh beragama yang melampaui kewarasan dalam beragama hingga tiba di terminal “ketakwarasan dalam beragama”.
Beragama itu, cukup dengan cinta yang sederhana. Tak mesti mewah seperti jalan intelektual kaum filsuf. Bila agama semata soal metafisika, kearifan puncak dan wacana sejenisnya, maka agama menjadi begitu eksklusif. Kaum filosofi akan memiliki kedudukan sama seperti kaum pemodal di dunia kapitalisme.
Maka ketika hari persaksian digelar, “Sang Maha Cinta” akan memanggil lebih dahulu “cinta-cintanya” yang paling sederhana. Bukankan “cinta yang nampak sederhana itu” akan selalu dianggap biasa oleh hati dan pikiran? Karena itu, Tuhan yang maha cinta justru memuliakan cinta-cinta penuh kesederhanaan.
Pandangan cinta saya, justru membuktikan satu hal. Tidak ada “korelasi” antara rasionalitas, akal sehat, maupun tradisi filsafat dengan tingkat keampuhan melawan covid 19.
Negara super rasional seperti Amerika, justru tidak berkutik. Tradisi filsafat di Perancis, Inggris dan Jerman, juga tidak berarti sama sekali. Apalagi klaim “akal sehat” beragama di Iran, Arab Saudi dan Mesir, juga tak berdampak signifikan dalam habitus menghadapi covid 19.
Apa arti semua itu?
Semua “narasi” tentang kehebatan bangsa-bangsa di dunia saat ini, hanyalah omong kosong belaka. Seluruh “metanarasi” kehebatan peradaban dunia saat ini, seluruhnya hanyalah sampah!
Bila di masa lalu, sebagian umat Islam memercayai agama “sama dengan” kepentingan politik, maka justru paradigma seperti ini yang paling merusak tatanan kehidupan dunia. Pada akhirnya, agama dan kepentingan politik selalu bersenyawa hingga substansi agama menjadi gelap penuh rahasia.
Mungkinkah pasca pandemi, akan muncul buku monumental bertema “Kedigdayaan Agama menaklukan Covid 19”? Lagi-lagi, substansi agama kembali dikorbankan, bila ada penulis yang coba menjawab tantangan ini.
Kalau saya, kehadiran covid 19 mari kita sambut dengan rindu seutuh cinta, sayang sepenuh kasih. Ia hanyalah rahasia yang sengaja Tuhan ciptakan agar kita lebih mengenal kemahacintaannya.
*****
Bila negara berkuasa atas tempat ibadah, lantas atas dasar apa negara “mengklaim” memiliki kekuasaan atas tempat ibadah?
Bukankah secara filosofis dan normatif, negara itu hanya berkuasa atas Tanah, Bumi, Air dan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya.
Jelas, negara menunjukan kekuasaan yang tiranik ketika memaksa tempat ibadah harus tutup tanpa syarat.