MAKASSAR – Pada tahun 2014 Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memberikan izin reklamasi Center Point of Indonesia (CPI) kepada KSO PT Ciputra – PT Yasmin Bumi Asri dengan luas reklamasi mencapai 157,23 hektar.

Hasil reklamasi tersebut rencananya dibagi dua antara Pemprov Sulawesi Selatan dan KSO Ciputra-Yasmin Bumi Asri. Pemprov Sulawesi Selatan memperoleh bagian 50,47 hektar, sementara pihak pengembang proyek CPI mendapatkan 106,76 hektar, sabtu(24/6/2023).

Sejak awal perencanaan proyek reklamasi CPI telah mendapat penolakan namun tetap dipaksakan berjalan dengan menggusur 43 keluarga nelayan dan menghancurkan wilayah tangkap komunitas nelayan di Pulau Lae-Lae, Panambungan, Lette, Mariso, Bontorannu. Reklamasi CPI bukan hanya memberikan penderitaan bagi warga yang tergusur, tetapi juga masyarakat nelayan pesisir Galesong Kabupaten Takalar yang wilayah tangkapnya dijadikan sebagai lokasi penambangan pasir laut untuk kebutuhan material reklamasi.

Dampak buruk reklamasi dan tambang pasir laut membuat penolakan masyarakat semakin membesar, sehingga pada akhirnya proyek CPI gagal diselesaikan sesuai dengan perencanaan. Kegagalan reklamasi ini kemudian memberikan konsekuensi terhadap perjanjian antara pemerintah provinsi dan KSO Yasmin-Ciputra terkait dengan pembagian lahan hasil reklamasi.

Agustus 2020, pemerintah dalam hal ini Gubernur Sulawesi Selatan mengeluarkan surat 593.6/5522/BKAD perihal penetapan lahan penganti 12,11 hektar, lalu pada Januari 2023, Pemprov Sulawesi Selatan dan PT Yasmin Bumi Asri melakukan addendum IV atas perjanjian terkait bagi lahan hasil reklamasi.

Keduanya bersepakat, atas kekurangan lahan pemerintah di CPI akan dipindahkan di Pulau Lae-lae. Namun, perjanjian ini sama sekali tidak pernah dikonsultasikan kepada masyarakat Pulau Lae-lae yang notabene merupakan pihak yang paling terdampak dan berkepentingan atas segala kegiatan pembangunan di pulau tersebut.

Masyarakat nelayan Pulau Lae-lae menolak rencana reklamasi ini karena wilayah rencana reklamasi merupakan daerah tangkap. Mereka juga menganggap bahwa sejak awal proyek yang tidak pernah dikonsultasikan ini penuh dengan manipulasi.

Contohnya, dalam isi draft AMDAL, penyusun mengatakan bahwa 99 persen masyarakat setuju dengan rencana reklamasi ini, faktanya masyarakat tidak pernah setuju, olehnya itu, pada 17 Mei 2023, ratusan nelayan melakukan aksi penolakan di DPRD Provinsi dan Kantor Gubernur.

Terbaru, pada 15 Juni 2023, Pemerintah Provinsi Sulsel yang dikawal oleh Polrestabes Kota Makassar mencoba melakukan kunjungan ke lokasi rencana reklamasi Pulau Lae-lae. Rombongan pemerintah tersebut dihadang oleh masyarakat Pulau Lae-lae yang menjadi bukti kuat bahwa masyarakat pulau lae-lae tegas menolak rencana reklamasi.

Aksi tanpa kekerasan oleh masyarakat ini justru direpresi oleh aparat kepolisian, satu nelayan dan dua mahasiswa ditangkap tanpa alasan yang jelas.

Aparat kepolisian harus menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap warga Pulau lae-lae yang saat ini sedang memperjuangkan Hak-nya.