Oleh : Haerullah Lodji (Relawan TBM Pajeka)

Bagian Kedua : Tujuh Keunikan Kampung Lembangloe

Di jantung Kota Jeneponto, Sulawesi Selatan, tepatnya di Jalan Lanto Daeng Pasewang Kelurahan Balang, Kecamatan Binamu, terdapat sebuah entitas misterius dan sakral yang dikenal sebagai Romanga.

Nama ini bukan hanya merujuk pada sebuah hutan kecil, tetapi juga sebuah kampung yang menyimpan jejak peradaban Turatea yang mendalam.

Sayangnya, keberadaan Romanga kini seperti sebuah kenangan yang memudar, sebuah mata rantai ekosistem yang terputus dari kisahnya sendiri.

Romanga, yang dulu memiliki luas cukup mumpuni, kini tak lebih dari 2 hektar lahan yang dikelilingi bangunan seperti Madrasah Tsanawiyah, Aliyah, Kantor Kemenag, hingga Kompleks Kodim 1425 Jeneponto.

Namun, di masa lalu, Romanga adalah ruang sakral yang dijaga ketat oleh masyarakat sekitar, khususnya warga Kampung Lembangloe yang berbatasan langsung dengannya.

Konon, Romanga begitu “suci” sehingga jangankan menebang pohon atau mengambil ranting untuk kayu bakar, bahkan meludah di dalam area Romanga dianggap pemali. Ini adalah bentuk penghormatan mendalam masyarakat terhadap kesakralan tempat ini.

Di dalam Romanga terdapat kolam besar dengan air jernih yang bersumber dari mata air di tengah hutan kecil ini. Menurut cerita turun-temurun, kolam ini adalah tempat mandi para raja dan keluarganya di masa lalu.

Hingga kini, kolam itu masih terawat, menjadi simbol sejarah yang menghubungkan Romanga dengan peradaban Turatea.

Selain itu, terdapat sekumpulan kelelawar yang menghuni Romanga, serta mata air panas di sekitarnya yang asal-usulnya masih menjadi misteri bagi masyarakat lokal.

Petani sekitar masih memanfaatkan mata air di Romanga untuk mengairi sawah mereka.

Jika kita mendengar kisah orang-orang yang menyaksikan Romanga di tahun 70-an, tempat ini pernah menjadi rumah bagi burung kakatua dan spesies unik seperti burung cobo’-cobo’, yang konon menyerang manusia berambut plontos.

Namun, kini Romanga berubah drastis. Pinggirannya menjadi tempat pembuangan sampah oleh masyarakat yang tidak bertanggung jawab. Semak belukar dan sampah plastik berserakan di dalam area Romanga, bahkan di kolam sejarah yang dulu suci.

Pohon-pohon tua banyak yang tumbang. Lahan Romanga semakin tergerus oleh pembangunan di sekitarnya. Kesakralan yang dulu dijaga kini seperti hilang ditelan zaman.

Siapa yang Bertanggung Jawab?
Pertanyaan besar yang muncul adalah siapa yang harus bertanggung jawab atas kondisi Romanga saat ini? Tidak jelas ada institusi atau komunitas yang secara aktif menjaga kelestarian tempat ini.

Padahal, Romanga bukan sekadar hutan kecil—ia adalah entitas sejarah dan peradaban ekosistem Turatea yang mewakili Jeneponto. Dahulu, masyarakat mengambil air suci dari Romanga untuk hajatan, namun kini praktik itu tak lagi terlihat.

Romanga seolah menjadi mata rantai ekosistem yang terputus dari kisahnya sendiri.

Melihat kondisi Romanga yang memprihatinkan, ada kebutuhan mendesak untuk revitalisasi dan pelestarian tempat ini.

Pemerintah lokal, masyarakat, dan stakeholder harus bersinergi menjaga Romanga sebagai bagian dari kekayaan budaya dan alam Jeneponto. Romanga bukan hanya warisan Turatea, tetapi juga simbol kearifan lokal yang mengajarkan penghormatan terhadap alam dan tradisi.

Jika tidak ada upaya pelestarian, maka jejak peradaban Romanga mungkin akan hilang selamanya, menjadi kenangan yang hanya tinggal cerita. (*)