Oleh :  Jay Dasrum

97 Tahun Sumpah Pemuda.—— Leluhur kita menitipkan warisan ini. Bukan harta kekayaan, bukan pula tampuk kekuasaan. Hanya sebuah “parupama”, kata-kata sederhana yang mendedahkan petuah bijak bestari. Bunyinya, “Tau akpaklungang ri singkulukna.” Jika ditafsir secara bebas, parupama ini bermakna, “Orang yang tidur berbantalkan sikunya.” Sederhana, tetapi sarat makna. Kita ditohok untuk tidak memiara sifat malas. Kita diingatkan untuk terus bergerak, terus bergolak. Kita, terutama kaum muda, tidak diperkenankan menangguk kebiasaan memanjangkan angan-angan.

Generasi muda adalah penerus sejarah. Kaum muda adalah pemilik sah masa depan. Namun, kepenerusan sejarah dan kepemilikan masa depan itu tidak begitu saja tercurah dari langit. Butuh kerja keras, semangat juang, dan stamina luar biasa. Kita tidak bisa berleha-leha dan larut dalam romantisme sejarah.

Bahwa kejayaan Indonesia selalu melibatkan partisipasi kaum muda, itu benar. Bahwa sejarah Indonesia menempatkan geliat kaum muda dengan torehan tinta emas, itu pun tepat. Tapi, kita tidak boleh berhenti sampai di sana. Jalan yang hendak diterabas masih sangat panjang. Dan berliku.
Kaum muda Indonesia boleh bertepuk dada dan berbangga hati.

Sumpah Pemuda, tugu sejarah yang monumental itu merupakan refleksi semangat kejuangan kaum muda yang mampu menaut-padukan semangat kebangsaan. Keragaman budaya, bahasa, dan wilayah diikat ke dalam satu simpul: keIndonesiaan.
Dari sana bermula gejolak melepas diri dari kungkungan penjajahan. Dari sana pula bermula hasrat kebebasan diembuskan. Buahnya, kita—saat ini—telah menjadi bangsa merdeka.
Namun, sekali lagi, kegemilangan sejarah hendaknya tidak membuat kita lena dan larut dalam romantisme.
Jika segelintir orang menisbahkan Nusantara sebagai limpahan alam yang kaya raya, benarlah adanya. Tapi, kita pun tak bisa menampik jika ada yang “mengeluh” ketika kekayaan alam itu belum mampu menyejahterakan sebagian besar penduduk Indonesia. Jika ada sekelompok orang lantang menguarkan Indonesia sebagai kawasan harapan, kita pun tidak bisa mengingkarinya. Apa saja tersedia di bumi Nusantara. Bijih besi, emas, batubara, tembaga, nikel, minyak bumi, semuanya tersedia. Kopi, cokelat, lada, cengkih, anggur, apel, markisa, padi, palawija, semuanya ada. Namun, belumlah cukup semua itu untuk mengantar rakyat Indonesia memasuki gerbang “kesejahteraan”.

Richard Florida dalam The Rise of the Creative Class menegaskan bahwa pusat pertaruhan ekonomi saat ini tidak seperti pada masa transisi dari era pertanian ke industri yang mengandalkan input fisik—berupa tanah dan tenaga manusia—tetapi cenderung disandarkan pada inteligensia, pengetahuan, dan kreativitas. Ketiga sarat ini tidak bakal tercapai, selama kita asyik berpangku tangan. Ketiga pilar ini memang menjadi syarat mutlak yang harus tercukupi, selain keragaman kekayaan alam. Dengan demikian, fatwa leluhur yang menghimbau agar kita “tidak tidur berbantal siku” menjadi niscaya.