Romantisme Sumpah Pemuda bukan semata pada gaung pemberontakannya saja. Banyak “hikmah” lain yang bisa kita petik daripada sekadar memperingati kebesarannya. Semisal membangun kembali semangat kebangsaan, menata ulang jiwa patriotik, atau menggali potensi dan talenta terbaik kita demi meneruskan cita-cita kemerdekaan. Dewasa ini, bukan hal sulit untuk mengayakan pengetahuan, inteligensia, dan kreativitas. Kita bisa belajar di mana saja, kapan saja, dan banyak cara yang sangat memudahkan kita. Tinggal, seberapa besar niat dan tekad kita untuk melakukannya.

Kita dituntut untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya, bahkan akses pendidikan begitu mudahnya saat ini, namun di sisi lain yang terjadi di negeri tercinta ini, kita sibuk berburu gelar tapi lalai memenuh-sesaki diri dengan keunggulan personal. Akibatnya, siswa SD tak bisa melakukan apa-apa selain mendaftar ke SMP. Setamat SMP belum juga mampu mandiri, hanya bisa antre formulir untuk masuk SMA. Uniknya, bahkan selepas menerima ijazah Sarjana, masih saja kita kelimpungan mencari pekerjaan, dan tetap tidak mampu mandiri.

Tradisi inilah yang mewarnai wajah pendidikan kita setiap tahun. Meskipun demikian, masih saja sebagian di antara kita menyenang-nyenangkan hati dengan istilah basi: “pengangguran intelek”. Tentu saja, tidak mudah menciptakan lapangan kerja yang bisa menampung jutaan “pengangguran intelek” itu. Butuh modal, butuh waktu. Dan, bukan menjadi tanggung jawab petinggi negara atau pengusaha saja, tapi tanggung jawab kita semua. Terutama kaum muda.
Tradisi “antre” menunggu lowongan inilah yang perlu kita ubah. Di antaranya dengan cara mengembangkan kreativitas, seperti saran Florida. Ya, kreativitas manusia merupakan satu-satunya sumber daya yang tak terbatas. Finlandia, misalnya. Mereka tidak dilimpahi kekayaan alam seperti Nusantara kita, tetapi kreativitas membuat mereka jadi unggul dan memiliki daya saing ekonomi yang kuat. Begitu pula dengan Belanda, Swedia, Selandia Baru, dan negara lainnya.

Bayangkan jika kekayaan alam disandingkan dengan kekayaan kreativitas. Kelak, jika itu terjadi, Indonesia akan menjadi negeri yang benar-benar “kaya raya”. Pastilah hal itu tidak mudah diwujudkan, setidaknya kita bersungguh-sungguh untuk melakukannya.
Dan, “bersungguh-sungguh” berarti mengerahkan segala daya, bukan “letoy” dan mudah putus asa. Nilai inilah yang diembuskan para pendahulu kita pada 97 tahun silam lewat Sumpah Pemuda.
Alhasil, selama kita bisa membangun tiga pilar—inteligensia, pengetahuan, dan kreativitas—dalam diri kita, kaum muda tetap bisa tampil sebagai pewaris Nusantara.

Semoga pula kita tidak tergolong kaum yang ditakutkan leluhur kita, “karanjeng sobbolok napammonei”, yakni mereka yang menyimpan pengetahuan dalam “keranjang bolong”.
☼☼☼
Jeneponto, 28 Oktober 2025