Jakarta, Matasulsel | Fraksi-fraksi di DPR terkesan belum seluruhnya melakukan pendalaman materi sehingga kurang memahami maksud dari setiap norma yang ada dalam Draft RUU Cipta Kerja. Menurut Odie Hudiyanto, bisa jadi fenomena tersebut terjadi karena RUU Omnibus Law ini dibikin secepat kilat.

Demikian dikemukakan Odie Hudiyanto yang juga Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Mandiri Indonesia Sektor Hotel, Restoran, Katering, Pariwisata Dan Jasa Lainnya ini kepada Redaksi di Jakarta (13/6/2020). Berikut petikan wawancaranya.

Pertanyaan : Baleg DPR RI masih intens membahas RUU Ciptaker Omnibus Law, bahkan sudah menjadwalkan akan diselesaikan pada 29 Juli 2020. Bagaimana respons dan rencana elemen buruh dan mahasiswa menyikapi masalah ini?

Jawaban : Belum ada rencana pergerakan dari buruh. Masih fokus untuk back to work dan mengumpulkan data buruh yang terkena PHK, upah dibayar cuma 25% dan THR yang sebagian besar masih dihutang pengusaha.

Pertanyaan : Apakah sudah ada kesepakatan antara buruh dan mahasiswa untuk melakukan aksi unjuk rasa atau judicial review ke MK?

Jawaban : Masih belum ada. Masih konsolidasi internal di serikat masing-masing.

Pertanyaan : Apa dampak negatif RUU Omnibus Law terhadap perlindungan dan rasa keadilan bagi kaum buruh yang “terpinggirkan”?

Jawaban : Ada dampak negatifnya jika draft cluster tenaga kerja tidak ditarik dari RUU Omnibus Law

Pertanyaan : Banyak DIM di Omnibus Law yang dinilai kurang memperhatikan UU yang pernah dibatalkan MK?

Jawaban : Omnibus Law wajib merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Banyak pakar menilai pasal 170 dalam omnibus law dinilai membuat kekuasaan Presiden semakin eksesif/berlebihan?

Pertanyaan : Setuju. Ajukan melalui MK jika ada pihak merasa ada yang melanggar UUD 1945. Bukan secara sepihak.

Pertanyaan : Banyak pakar menilai bahwa selama pembahasan Omnibus Law terkesan ada kegelisahan dari Kementerian/Lembaga Negara yang merasa kehilangan kewenangannya apabila RUU tersebut diundangkan. Ada tanggapan?

Jawaban : Ini lebih kepada ego sektoral saja. (Red/Wijaya).(*)

Terbit : Jakarta, 16 Juni 2020.