“Roh sepakbola dunia adalah kesetaraan tanpa rasis. Tim Juku Eja musim 2000/2001 berwarna-warni. Tim dibangun dari pemain yang berasal dari berbagai suku, ras, dan agama. Dan, seluruh masyarakat Sulsel bangga menyambut mahkota itu dan seluruh pemain dieluk-elukkan sebagai pahlawan. Tidak ada diskriminasi di sana,” tuturnya.

Hasilnya, PSM mampu merengkuh mahkota juara setelah melibas PKT Bontang 3-2 di laga final di Stadion Utama Senayan. Bukan hanya menjadi jawara nasional, PSM juga menjadi ‘jawara’ ASEAN stelah menekuk dua wakil ASEAN di Piala Champions Asia. Berkat prestasi itu, Konfederasi Sepakbola Asia (AFC) menunjuk Makassar sebagai tuan rumah babak 8 besar Piala Champions Asia.

“Tidak sedikit yang protes atas terobosan saya merekrut pemain lokal non-Sulsel maupun pemain asing. Tapi, fokus saya saat itu ialah merekrut pemain berkualitas untuk meraih prestasi membanggakan. Ingat bahwa sepakbola tidak mengenal sekat-sekat suku, ras, agama, dan budaya. Prestasi itu toh akhirnya membanggakan seluruh masyarakat Sulsel,” kenang NH.

Pada masa itu, PSM sebagai ‘Indonesia Mini’ nyata ketika NH melambungkan PSM Makassar ke puncak Liga Indonesia musim 2000/2001, Tim Juku Eja dihuni pemain dari berbagai suku di Indonesia. Sebut saja, Kurniawan Dwi Yulianto (Jawa Tengah), Hendro Kartiko (Jawa Timur), Bima Sakti (Kalimantan), Ortisan Salosa (Papua), dan Miro Baldo Bento (Nusa Tenggara Timur – Bento memilih jadi WNI ketika Timor Leste pisah dari Republik Indonesia). (*)