Dalam kaitan pengawasan Pemilu termasuk Pilkada, pesan khusus disampaikan anggota Komisi II DPR dari Fraksi NasDem Syamsul Lutfhi, kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI.

Di usia Bawaslu yang genap 12 tahun, praktik politik uang masih merajalela. Menurut Syamsul, perlu sanksi tegas kepada pelaku parasit demokrasi. Salah satu ganjalannya, sanksi yang berbeda antara UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin menyepakati hal itu. Bawaslu dapat berbuat lebih, terutama dalam menekan kemunculan politik uang bila kewenangan yang diberikan negara lebih kuat.

Segera disiapkan

Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada pada Pasal 201 ayat 6 secara eksplisit mengatur pilkada serentak hasil pemilihan 2015 dilaksanakan pada September 2020. Ketentuan pasal itu harus direvisi melalui Perppu.

Terkait hal tersebut, Presiden Joko Widodo dapat segera menugaskan kementerian/lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan Perppu penundaan Pilkada yaitu Kemenko Polhukam, dengan mengoordinasikan persiapan pembuatan Perppu penundaan Pilkada 2020 dengan dibantu Kementerian Dalam Negeri, Kemenkumham, Badan Intelijen Negara (BIN), Mabes Polri, Mabes TNI, DKPP RI, Bawaslu dan KPU RI.

Keberadaan Perppu penundaan Pilkada 2020 ini penting sebagai payung hukum keberlanjutan pelaksanaan Pilkada pasca berakhirnya wabah Covid-19 (yang belum dapat dipastikan kapan berakhirnya, apalagi sudah ada temuan dari Universitas Cambridge, Inggris bahwa Covid-19 sudah bermutasi menjadi tiga gen turunannya).

Sedangkan, isi daripada Perppu itu sendiri selain menyangkut masukan dari Perludem juga dapat dimintakan masukan strategis dari kementerian dan lembaga negara yang selama ini mengawasi, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Pilkada di Indonesia selama bertahun-tahun. Bagaimanapun juga, Perppu penundaan Pilkada 2020 segera disiapkan, agar tidak melahirkan permasalahan baru ke depan. Penulis adalah Victor Alfons Jigibalom pemerhati masalah nasional.(*)