Jakarta, Matasulsel – Pada Kamis 23 April 2020, dihadapan awak media Ketua DPR RI, Ibu Puan Maharani menyampaikan sikapnya, terkait banyaknya atau ramainya perbincangan masyarakat dan penolakan dari gerakan buruh atas Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Ibu Puan Maharani meminta Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menunda pembahasan pasal-pasal terkait Ketenagakerjaan pada RUU Cipta Kerja. Adapun yang jadi alasan Ibu Ketua DPR RI ini meminta penundaan pembahasan pasal-pasal Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja agar DPR Fokus pada fungsi pengawasan, legislasi dan anggaran pada penanganan pandemi Corona Covid 19.

Menanggapi pernyataan Ketua DPR RI tersebut, Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Rudi HB Daman angkat bicara, “Dengan pernyataan demikian dari Ketua DPR-RI ini jelas gagal paham, tidak mendengarkan secara baik apa yang menjadi kritikan dan tuntutan buruh serta masyarakat atas Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Ibu Puan gagal paham dan ini juga semacam penggiringan opini bahwa gerakan buruh, serikat-serikat buruh menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja itu hanya menolak Klaster Ketenagakerjaan saja. padahal tidak. ”

Perlu saya sampaikan dan perjelas disini, terkhusus untuk Ibu Puan Maharani dan para anggota Dewan (DPR RI) yang terhormat serta pemerintahan rezim Jokowi.

Serikat buruh-serikat buruh dan terkhusus GSBI, kami menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja itu bukan hanya menolak Klaster Ketenagakerjaan saja, tapi Omnbus Lawa RUU Cipta Kerja nya itu sendiri yang kami Tolak. Klaster Ketenagakerjaan adalah bagin kecil didalam nya yang kami Tolak. Tegas Rudi.

Bagimana kami dan masyarakat bisa menerima RUU macam ini. Ini UU jauh lebih buruk dari UU dizaman Kolonial. Sebut saja salah satu dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini bagian keempat soal pertanahan Pasal 127, akan memperpanjang jangka waktu hak pengelolaan tanah alias Hak Guna Usaha (HGU) menjadi 90 tahun.

Silahkan lihat dan baca sejarah, saat UU Pokok Agraria lahir pada 1960, setelah Hak Erfpacht di hapus, lalu muncul HGU, batasan paling lama hanya 25-35 tahun. Lah sekang di Omnibus Law Cipta Kerja jadi 90 tahun, ini kan gila.

Dalam Klaster Ketenagakerjaan misalkan, sangat nyata mengurangi, menghilangkan hak dan kesejahteraan buruh yang selama ini didapat buruh, menghilangkan aspek perlindungan bahkan menghilangkan aspek pidana bagi pengusaha pelanggar.
Klaster Ketenagakerjaan secara terang benderang merampas hak-hak dasar buruh.

Soal Upah misalnya, dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja Upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil (ketentuan ini membuka ruang adanya upah per jam). Ketika upah dibayarkan per jam (satuan waktu dan hasil), maka otomatis upah minimum akan hilang, dan akibatnya nanti hanya akan ada buruh harian lepas dan buruh borongan.

Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dan Upah Minumum Sektoral (UMSK) dihilangkan (di hapus).

Yang ada hanya Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Penetapan kenaikan Upah Minimum hanya dihitung berdasarkan pertumbuhan ekonomi ditiap daerah.
Omnibus Law juga memuat ketentuan upah minimum padat karya.