Luwu Utara, Matasulsel – Keberadaan media massa dalam kampanye sangatlah penting. Informasi tentang citra politik, program, dan manajemen isu selama masa kampanye nyaris mustahil menafikan keberadaan media. Bahkan, bergaung tidaknya masa kampanye sangat bergantung salah satunya pada pembingkaian berita yang dibuat media, selain perbincangan publik yang melimpah di media sosial.
Hal ini disampaikan Ketua Bawaslu Kabupaten Luwu Utara, Muhajirin pada media ini, Kamis, 6/12/2018.
Sayangnya, hingga saat ini masih ada ambiguitas pengaturan media massa dalam kampanye pemilu.
” Masa kampanye di media massa berlangsung hanya 21 hari, yakni antara 24 Maret hingga 13 April 2019 sebagaimana diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 yang kemudian direvisi menjadi PKPU Nomor 33 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu,” ucap Muhajirin.
Menurut Pasal 275 UU Nomor 7 Tahun 2017 dan PKPU, ada sembilan metode kampanye pemilu, yakni pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye pemilu kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, media sosial, iklan media massa (cetak, elektronik, internet), rapat umum, debat pasangan calon tentang materi kampanye pasangan calon, serta kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
” Mengingat pada 2019, pileg dan pilpres dilaksanakan bersamaan, ini yang membedakan penyelenggaraan kampanye pemilu 2019 dengan pemilu-pemilu sebelumnya,” tuturnya.
Setiap memasuki masa pemilu, muncul harapan adanya proses kampanye yang naik kelas! Media massa seharusnya bisa turut mengambil peran penting untuk memberikan literasi politik terkait dengan pemilu, baik melalui pemberitaan, penyiaran, maupun iklan kampanye. Bagi para pengkaji media dan politik, menarik mengamati media di tengah derasnya informasi seputar kampanye.
Ke depan harus ada pemilahan yang jelas antara kampanye di media penyiaran televisi dan radio dengan kampanye di media cetak danĀ onlineĀ atau daring. Terdapat perbedaan mendasar di antara jenis-jenis media tersebut. Media penyiaran televisi dan radio menggunakan frekuensi milik publik. Jadi, tak bisa semena-mena digunakan hanya untuk acara atau program salah satu pasangan capres/cawapres maupun partai.
Sementara media cetak dan media daring dari perspektif produksi tidak menggunakan barang publik (public goods) seperti frekuensi di lembaga penyiaran. Meskipun dari sudut penyelenggaraan kampanye, regulasi mengatur di Pasal 291 UU Nomor 7/2017 bahwa media massa cetak, media daring, dan lembaga penyiaran wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan kampanye.
” Media massa memang punya tanggung jawab politik turut mencerdaskan masyarakat, selain juga melakukan fungsi kontrol sosialnya. Selain peduli terhadap iklan maupun bentuk kampanye lainnya dari para kandidat di media massa, secara kelembagaan media massa harus mempertahankan posisi independennya dalam pemberitaan. Posisi strategisnya, berita media kerap kali menjadi rujukan masyarakat sehingga prinsip-prinsip verifikasi dan imparsialitas sangat penting diutamakan,” sarannya.
” KPU ke depan harus memikirkan regulasi kampanye di media yang progresif dan mengoptimalkan peran media sebagai ruang publik. Misalnya, selain pelibatan media massa sejak awal masa kampanye (bukan 21 hari seperti sekarang), juga media bisa memantik dialektika program dan gagasan para calon tersebut,” urainya.(yustus)