Makassar, Matasulsel.com- Pasangan calon Gubernur-calon Wakil Gubernur Sulsel nomor urut satu, Nurdin Halid-Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar meraih elektabilitas tertinggi dengan persentase 30,6 persen. Elektabilitas tersebut merupakan hasil survei lembaga Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dalan Pilgub Sulsel, baru-baru ini.

Sementara itu, tiga kandidat lain, yaitu Nurdin Abdullah-Andi Sudirman Sulaiman, Ichsan Yasin Limpo-Andi Muzakkar, dan Agus Arifin Nu’mang-Tanri Bali Lamo tertinggal di bawah NH-Aziz. Survei CISC itu diujikan pada 1.000 responden se-Sulsel hingga per 31 April lalu.

Menanggapi perolehan survei, Ketua Hanur Sulsel, Andi Ilhamsyah Mattalata mengaku tak begitu terkejut. Pasalnya, duet NH-Aziz telah tampil begitu meyakinkan masyarakat Sulsel.

Di berbagai kesempatan, pasangan ini menawarkan program pro rakyat kepada seluruh lapisan masyarakat. Baik melalui sosialisasi tatap muka biasa, kampanye, maupun debat kandidat.

“Ini efek debat kandidat juga. Artinya, masyarakat menerima sosok NH-Aziz untuk menjadi pemimpin dengan program yang telah dicanangkan bersama untuk masyarakat Sulsel,” ujarnya.

Kata dia, penampilan NH-Aziz dalam setiap debat kandidat merupakan keunggulan tersendiri bagi pasangan ini. Termasuk, NH-Aziz menawarkan gagasan dan konsep Trikarya Pembangunan yang berbasis infrastruktur, ekonomi kerakyatan, dan kearifan lokal untuk menjawab tantangan Sulsel selama lima tahun ke depan.

Ilhamsyah menjelaskan, sosok NH merupakan figur yang telah lama berkecimpung di dunia ekonomi kerakyatan, khususnya koperasi dan UMKM. Karena itu, ia meyakini akseptabilitas masyarakat terhadap NH terbilang tinggi.

“NH itu praktisi ekonomi kerakyatan. Tidak sia-sia pengalamannya mengelola koperasi mulai dari nol,” ucapnya memuji NH yang sekarang menjabat sebagai Ketua Dewan Koperasi Indonesia dan Vice President Aliansi Koperasi Asia Pasifik.

Mantan Ketua BPD Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulsel ini mengimbuhkan, NH merupakan orang yang terlahir sebagai pelaku-praktisi ekonomi kerakyatan sejati. Sehingga kemudian tumbuh berkembang menjadi eksekutif di bidang perekonomian yang selanjutnya menjadi legislator/politisi.

“Tentunya ketika menjadi seorang birokrat/pemimpin tertinggi, gubernur di sebuah provinsi, tidak lagi perlu belajar dan butuh waktu lama untuk menyusun strategi pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. Dibanding mereka yang berasal dari birokrat atau legislator yang baru mau belajar menjadi pelaku ekonomi,” tandasnya.