UKT Mahal, Pendidikan Semakin Sulit
Oleh : Muhammad Akbar, S.Pd,. M.Pd., C.ET.
(Penggiat Media Islam, Founder Sahabat Literasi, Pembina Daar Al-Qalam, Mahasiswa Doktoral Pascasarjana UIN Alauddin Makassar)
Besaran uang kuliah tunggal (UKT) menjadi perbincangan hangat di masyarakat akhir-akhir ini, utamanya di kalangan lembaga pendidikan tinggi atau kampus.
Ketentuan UKT terbaru telah tertuang dalam Peraturan Mendikbudristek (Permendikbudristek) Nomor 2 Tahun 2024 Tentang Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Pada PTN di Lingkungan Kemendikbudristek.
Kenaikan UKT tersebut memicu para mahasiswa melakukan demo di berbagai Universitas, ada yang merasa bahwa mereka seolah-olah di jebak, karena saat mereka wawancara untuk calon mahasiswa baru angkatan 2024 tidak ada penjelasan tentang kategori-kategori pembayaran, dan tiba-tiba ketika selesai pengumuman, pembayaran UKT langsung naik.
Sebagai contoh, apa yang di alami oleh Siti Aisyah Alumni SMAN 1 Pendalian IV Kabupaten Rokan Hulu Riau, dia diterima menjadi mahasiswa jurusan Agrotekhnologi Fakultas Pertanian Universitas Riau melalui Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi.
Langkah Siti Aisyah ternyata terhenti dan memilih mundur setelah mendapatkan pembayaran UKT di kategori 5 yakni 4,8 juta per semester. Padahal Siti dikenal sebagai mahasiswa berprestasi dan sangat mengingkan melanjutkan studi.
“Abah enggak sanggup membiayai UKT terendah yang dipatok oleh kampus, terlalu mahal buat kami. Daripada saya memberatkan orang tua yang kondisinya juga sedang tidak baik-baik saja, saya memilih mundur saja,” kata Siti saat di wawancarai oleh gatra.com (Kamis, 23/5/2024).
Dalam pemberitaan yang lain, masih begitu banyak mahasiswa-mahasiswa yang memilih mundur akibat ekonomi mereka yang tidak bisa menjangkau mahalnya UKT yang di terima.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh para aktivis mahasiswa, menuntut agar UKT di turunkan. Termasuk melakukan audensi di DPR RI.
Maulana Ihsanul Huda dari BEM Universitas Soedirman pada 16 Mei yang lalu menyampaikan di depan anggota DPR RI bagaimana UKT ini naik secara drastis.
“UKT naik hingga 200-300%, contohnya di Fakultas saya sendiri di Fakultas Peternakan yang sebelumnya Dua Juta Lima Ratus, sekarang menjadi Empat Belas Juta. Bagaimana kita tidak marah dengan hasil seperti itu. Ini juga terjadi Universitas Mataram, Universitas Bengkulu, Universitas Negeri Jakarta, UNS, Undip, dan universits lainnya,” kata Maulana di Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) DPR RI dan BEM Seluruh Indonesia (SI) tentang Aspirasi Kenaikan UKT di Gedung DPR RI Kamis (16/5/2024).
Sementara itu Presiden Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta, Agung Luki Praditya mengatakan bahwa pemerintah tidak lagi memperhatikan keberlangsungan pendidikan bagi fakir miskin.
Mahalnya uang pangkal dan uang kuliah tinggal (UKT) di sejumlah universitas di Indonesia tidak terlepas karena kebijakan pemerintah terkait Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH).
PTNBH ini merupakan Perguruan tinggi negeri yang statusnya sudah berbadan hukum, diberi hak otonom oleh pemerintah agar lebih mandiri termasuk dalam mengelola anggaran institusinya.
Seorang Pengamat yang juga sebagai Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai kebijakan itu justru membuat kampus dijadikan sebagai lahan bisnis dengan menaikkan uang pangkal maupun uang kuliah tunggal.
“Kebijakan PTNBH ini menjadikan kampus sebagai lahan bisnis. Jadi, harus dihentikan. Apalagi, bisnis yang dilakukan kampus ini dengan mencekik mahasiswa lewat kenaikan biaya UKT yang tidak masuk akal, kenaikannya berkali-kali lipat,” kata Ubaid saat dihubungi Kompas.com, Senin (13/5/2024).
Menurutnya, tugas pemerintah menuju Indonesia Emas tahun 2045 adalah mencerdaskan bangsa dengan memberikan akses belajar yang mudah bagi seluruh masyarakat.
“Amanat UUD 1945 adalah tugas pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan malah berbisnis dengan mahasiswa melalui tarif UKT yang sangat mahal,” bebernya.
Kondisi ini jika terus dibiarkan dan tak di evaluasi oleh pemerintah, maka wajar jika kita hari ini sangat cemas tentang generasi masa depan Indonesia.