Jakarta, Matasulsel – Pada pemerintahan B.J Habibie, berdasarkan Undang-undang No 45/99 dilakukan pemekaran propinsi Irian Jaya menjadi dua yakni Irian jaya Barat dan Timur. Hal ini dilakukan sebagai salah satu perwujudan dari tuntutan masyarakat lokal yang waktu itu ingin memisahkan diri dari Indonesia. Pemerintah waktu itu mengangkat seorang Gubernur dari masing-masing propinsi dengan keputusan Presiden No 327/M/1999. Namun, masih saja terjadi penolakan. Sehingga tap MPR No.IV/MPR/1999 keluar sebagai bentuk dukungan terhadap keluhan rakyat asli Papua untuk membentuk Otonomi Khusus (Otsus).

Hal itu berlanjut pada masa pemerintahan K.H.Abdur Rahman Wahid dikeluarkan tap MPR No.IV/MPR/2000 yang berisi tentang rekomendasi-rekomendasi dalam penerapan peraturan Otonomi Khusus Aceh dan Papua. K.H.Abdur Rahman Wahid waktu itu juga mengesahkan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang intinya membahas tentang pentingnya mengatasi ketidaksetaraan rakyat Papua dan meningkatkan pembangunan di berbagai lini untuk meningkatkan kehidupan masyarakat Papua.”

“Seiring dengan berkembangnya zaman dan berkembangnya kehidupan berbangsa khususnya di Papua. Cita-cita dan upaya pemerintah untuk memperbaiki keadaan di Papua dari berbagai lini terus dilakukan. Karena dengan jalan adanya Otsus, diyakini bahwa suatu wilayah atau daerah akan memiliki kemajuan yang cukup signifikan kedepannya.”

Namun, hal ini tentu berbeda dengan kondisi Papua. Berbagai konflik sepanjang tahun yang selalu terjadi di tanah Papua belum cukup membuktikan bahwa pemerintah berhasil melakukan perubahan di bumi Cendrawasih. Padahal, pemerintah sudah melakukan peningkatan anggaran melalui kebijakan Otsus mulai dari Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur dan lainnya.”

“Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua mulai diberikan pada tahun 2002 melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pasal 34 ayat (3) huruf c angka 2) mengatur bahwa “Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional.”