Catatan: Jay Dasrum

(Refleksi Pelantikan dan Pengambilan Sumpah/Janji Anggota DPRD Jeneponto Periode 2024-2029)

Vox Populi, Vox Dei adalah sebuah ungkapan dalam bahasa Latin yang artinya “Suara rakyat adalah suara Tuhan”. Ungkapan ini sering digunakan dalam konteks politik untuk menekankan pentingnya mendengarkan dan menghormati suara mayoritas rakyat dalam pengambilan keputusan.

Makna dan Implikasi dari ungkapan tersebut antara lain; Legitimasi Kekuasaan: Ungkapan ini memberikan legitimasi pada kekuasaan yang berasal dari pemilihan umum. Artinya, jika mayoritas rakyat memilih seorang pemimpin, maka pemimpin tersebut dianggap memiliki mandat dari Tuhan untuk memimpin.

Tanggung Jawab Pemimpin: Ungkapan ini juga menggarisbawahi pentingnya pemimpin untuk selalu mendengarkan dan memenuhi aspirasi rakyat. Pemimpin yang tidak mendengarkan suara rakyat dianggap tidak menjalankan amanat Tuhan.

Partisipasi Masyarakat: Ungkapan ini mendorong masyarakat untuk aktif berpartisipasi dalam kehidupan politik, karena suara mereka dianggap sangat penting dalam menentukan arah suatu negara.

Meskipun terdengar sangat demokratis, ungkapan ini juga seringkali menjadi objek kritik dan perdebatan. Beberapa kritik yang sering muncul antara lain: Relativisme: Setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda tentang Tuhan dan kehendak-Nya. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan bahwa suara mayoritas selalu mewakili kehendak Tuhan.

Manipulasi: Ungkapan ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memanipulasi opini publik dan membenarkan tindakan yang tidak demokratis, dan Populisme: Terlalu menekankan pada suara mayoritas dapat mengabaikan hak-hak minoritas dan kelompok-kelompok marginal.

“Vox Populi, Vox Dei” adalah sebuah ungkapan yang kompleks dan multi-interpretasi. Di satu sisi, ungkapan ini menekankan pentingnya demokrasi dan partisipasi masyarakat. Di sisi lain, ungkapan ini juga dapat menimbulkan berbagai masalah jika diinterpretasikan secara sempit dan tidak kritis.

Pandangan terhadap ungkapan “Vox Populi, Vox Dei” dalam konteks modern.
Dalam era globalisasi dan informasi yang begitu cepat, pandangan terhadap ungkapan ini semakin kompleks dan beragam. Beberapa pandangan yang sering muncul di antaranya dukungan terhadap demokrasi: Banyak yang masih meyakini bahwa ungkapan ini tetap relevan dalam konteks demokrasi modern. Suara rakyat dianggap sebagai dasar legitimasi kekuasaan dan menjadi pedoman bagi pemimpin dalam mengambil keputusan.

Kemudian Kritik Terhadap Populisme: Di sisi lain, ada juga yang mengkritik ungkapan ini karena dapat memicu munculnya populisme. Ketika suara mayoritas selalu dijadikan patokan, maka hak-hak minoritas bisa terabaikan dan keputusan yang diambil bisa tidak rasional.

Peran Media Sosial: Munculnya media sosial membuat suara rakyat semakin mudah didengar. Namun, ini juga memunculkan tantangan baru seperti penyebaran hoaks, polarisasi, dan manipulasi opini publik.

Kecerdasan Buatan dan Manipulasi Opini: Perkembangan teknologi kecerdasan buatan memungkinkan manipulasi opini publik secara besar-besaran. Hal ini mempertanyakan sejauh mana suara rakyat yang kita dengar benar-benar mencerminkan keinginan masyarakat.

Pluralisme dan Relativisme: Dalam masyarakat yang semakin plural, pandangan tentang “kebenaran” menjadi semakin relatif. Suara mayoritas tidak selalu mewakili kebenaran mutlak, dan kepentingan minoritas perlu diperhatikan.
Lalu bagaimana tantangan dalam

Menerapkan “Vox Populi, Vox Dei” di Era Modern: Berbagai tantangan dalam penerapan ungkapan ini di era modern antara lain; Representasi: Bagaimana memastikan bahwa semua suara rakyat, terutama dari kelompok minoritas, terwakili dengan baik dalam proses pengambilan keputusan?

Informasi yang Salah: Bagaimana membedakan antara opini publik yang terbentuk secara organik dengan opini yang dimanipulasi melalui informasi yang salah?

Kualitas Demokrasi: Bagaimana memastikan bahwa keputusan yang diambil berdasarkan suara mayoritas benar-benar demi kepentingan bersama dan berkelanjutan?

Etika Politik: Bagaimana menjaga etika politik dalam memanfaatkan suara rakyat untuk kepentingan politik jangka pendek?

Max Weber, Sosiolog Jerman memberikan analisis mendalam tentang kekuasaan dan otoritas. Pemikirannya tentang legitimasi kekuasaan dapat dikaitkan dengan konsep kedaulatan rakyat. Max Weber melakukan kajian terhadap apa yang disebut dengan kekuasaan atau otoritas.

Menurutnya, terdapat tiga tipe kekuasaan otoritas yakni? Otoritas tradisional, otoritas legal-rasional dan otoritas kharisma.

Analisis Weber ini pada dasarnya beririsan dengan ungkapan “Vox Populi, Vox Dei” yang tetap relevan dalam konteks modern, namun tentunya perlu diinterpretasikan secara kritis dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Suara rakyat memang penting, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya faktor yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Demokrasi yang sehat membutuhkan keseimbangan antara suara mayoritas, hak-hak minoritas, dan pertimbangan rasional. (*)