Ternyata, tidak lama setelah menjabat, Gubernur terpaksa menghadapi kondisi yang dilematis. Antara memenuhi janji kampanye dan sumpah jabatannya versus janjinya pada si Pemodal, terutama kaitannya dengan pengembalian ongkos pemenangan. Jika ia memilih memenuhi janji kampanye dan sumpah jabatannya, maka ia harus menjalankan pemerintahannya dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance. Tetapi pilihan itu, tentu menjadi berita buruk bagi si Pemodal.

Melihat gelagat itu, Wagub, yang pada dasarnya memang adalah proksi si Pemodal, tentu tidak tinggal diam. Ia terus menerus memberi tekanan dengan mengingatkan Gubernur untuk memenuhi janjinya. Ia punya tugas memastikan proses pengembalian uang si Pemodal berjalan lancar dalam tempo yang sesingkat-singkatnya berikut keuntungannya.

Dalam situasi Gubernur terjebak dan merasa tak berdaya, Wagub lantas mengambil kebijakan sendiri. Pembentukan satuan kerja layanan pengadaan (Satker LP) barang dan jasa, sasarannya. Mengapa? Dengan menguasai Satker itu, berarti menguasai dana APBD. Bayangkan, jika 10 trilyun APBD. Untuk belanja barang dan modal, anggap hanya sebesar 40% saja, maka ada 4 trilyun dikelola oleh Satker tersebut. 10% saja diambil dari 4 trilyun itu, nilainya sama dengan 400 milyar. Hanya satu tahun anggaran, sudah cukup untuk mengembalikan utang pilkada. Tahun anggaran berikutnya tinggal meraup keuntungan.

Begitulah kurang lebih spekulasi di masyarakat terkait dengan situasi politik mutakhir di Provinsi Jazirah Selatan, Republik Amnesia. Lantas, Hak Angket mau mengarah ke mana? Apakah akan sampai pada tingkat Hak Menyatakan Pendapat yang memungkinkan dilakukannya pemakzulan? Publik menilai tidak akan sampai sejauh itu. Lain ceritanya jika Pansus Angket menemukan fakta terjadinya indikasi korupsi yang kemudian ditindaklanjuti oleh lembaga penegak hukum, maka pemberhentian mungkin saja terjadi. Namun pemberhentian itu bukan karena proses politik (pemakzulan), tetapi semata karena proses hukum.

Selain itu, jika benar-benar terjadi proses hukum, maka kecenderungannya akan lebih mengarah kepada sosok Wagub ketimbang Gubernur. Hal itu disebabkan oleh peranan Wagub yang terkait dengan pembentukan Satker LP barang dan jasa. Karena dalam kasus ini, ada yang berpendapat bahwa kalau kesalahan Gubernur, satu, maka kesalahan Wagub, tiga. Tetapi bagaimanapun juga, Gubernur tidak bisa lepas begitu saja. Paling tidak, Gubernur dapat dikenai pasal pembiaran.

Sebaliknya, mungkin saja status Hak Angket hanya sampai di situ. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa penggunaan Hak Angket mengingatkan kembali akan pentingnya check and balance di dalam sebuah pemerintahan, sehingga patut diapresiasi. Ke depan, seorang Gubernur jangan lagi mempersepsikan diri sebagai penguasa tunggal daerah. Karena fakta-fakta pelanggaran yang terungkap di sidang angket, mampu meluluhlantakkan citra diri seorang Gubernur yang demikian hebat, sekaligus menelanjangi jati diri seorang Wakil Gubernur yang bekerja untuk pemilik modal.

Publik berharap peristiwa angket ini dapat menjadi kekuatan baru bagi Gubernur agar dapat merengkuh kembali semua yang menjadi wewenangnya untuk memenuhi sumpah jabatanya. Mengabdi kepada kepentingan rakyat, bukan kepada kepentingan pemodal.

Kira-kira demikian hikayat yang akan terus dituturkan di negeri itu, Republik Amnesia. (*)