Buaya Antang yang Menggemparkan
Seperti halnya ketika perkawinan fenemenologis antara manusia dengan alam yang digambarkan oleh beberapa masyarakat tradisonal ketika mengalami sebuah kelahiran, mereka akan menyimpan ari-ari anaknya pada pohon, dan berpesan bahwa pohon sebagai mahluk hidup yang serupa saudara yang harus dijaga.
Sebagai landasan filosofis dalam upaya menjaga alam tentu hal-hal seperti ini perlu dilestarikan, tapi tidak melulu soal buaya, bisa juga anjing, monyet, dan yang lainnya.
Ditengah riuh cerita soal buaya ini, saya merasa perlu membaca ulang “Sapiens” buku karya Yuval Noah Harari. Buku yang bercerita tentang asal muasal manusia ini telah dengan lantang menjelaskan bahwa manusia adalah homo sapiens yang secara genetika dan struktur tulang belulang begitu sangat dekat dengan kera.
Anehnya pemikiran tentang manusia yang berkerabat dengan kera ini sangat ditentang oleh manusia, termasuk masyarakat yang bermukim di Sulawesi Selatan.
Barangkali memang kecintaan masyarakat tradisional kita pada mistik tidak pernah benar-benar pudar, sementara dibelahann dunia lain Elon Musk telah berhasil menerbangkan roketnya keluar angkasa.
Tan Malaka dalam madilog mengatakan sumber utama yang menghambat kemajuan bangsa Indonesia terletak pada kepercayaannya terhadap logika mistika, jalan satu-satunya untuk keluar dari irasional yang terkondisikan seperti ini adalah pemerataan pendidikan.
Namun apalah daya, negara harus memangkas anggaran demi makan siang gratis yang belum selesai.
Sebagai orang yang tumbuh besar dari lingkungan manusia yang mempercayai cerita rakyat tentang buaya, saya jadi rindu dengan nenek. Ia juga pernah secara tidak langsung mengancam saya untuk tidak bermain di kolong jembatan sungai Belokallong dengan mengaku bahwa buyutnya adalah kembaran si buaya putih.
Esoknya saya berdiri dipinggir sungai menyaksikan kawan kawan memanjat pohon mangga dan bergantian melompat ke sungai yang indah tanpa sampah. Buaya putih itu tak kunjung datang, barangkali ia pergi menjaga sungai tetap berair.(*)