Kedua, rumors yang berkembang bahwa Kemendagri juga “kerepotan” dalam menyiapkan naskah akademik dan draft RUU Otsus Papua karena minimnya masukan/saran dari K/L terkait termasuk dari pihak Papua dan Papua Barat.

Ketiga, Panitia Antar Kementerian (PA) juga sudah dibentuk ntuk membahas revisi UU Otsus Papua, namun dalam rapat-rapat dan FGD yang dilakukan PAK kurang efisien karena kurang dihadiri pejabat pengambil keputusan.

Keempat, sejauh ini, juga belum ada perintah atau political will dari kepemimpinan nasional terkait guidence yang harus dijalankan dan dipatuhi selama revisi UU Otsus Papua. Kelima, menyoal “keberlanjutan” Otsus Papua apakah masih dilaksanakan jika pembahasan revisinya gagal dilaksanakan karena berbagai sebab, serta apakah perlu dikeluarkan Perppu sebagai penggantinya.

Sementara itu, terkait Omnibus Law memang sudah menjadi wacana publik dibandingkan revisi UU Otsus Papua, namun sayangnya juga banyak anggota DPR RI yang enggan menjawab pertanyaan wartawan terkait Omnibus Law dengan beragam cara mulai karena merebaknya Covid-19 sampai dengan alasan karena draft RUU Ciptaker tersebut masih dibahas di Baleg DPR RI.

Padahal ada sejumlah pertanyaan strategis terkait Ciptaker ini antara lain mengapa produk hukum ini mendapatkan resistensi yang meluas dari kalangan civil society, buruh dan mahasiswa; apakah ada rencana DPR RI mengundang civil society, buruh dan BEM saat membahas RUU ini; Publik juga mengingatkan jika Wapres Ri dalam berbagai kesempatan juga memerintahkan agar pembahasan RUU Ciptaker ini dilakukan secara terbuka untuk memperbesar partisipasi publik, apakah hal ini akan dilaksanakan atau tidak dan sejumlah pertanyaan strategis lainnya.

Tidak ada cara lain, maka setiap anggota DPR RI dan DPD RI minimal fokus kepada kedua RUU ini karena berdampak strategis tidak hanya ekonomis politis namun sampai ke arah keamanan, sebab jika gagal dibahas akan menimbulkan instabilitas keamanan di mana-mana, dan kelompok oposan pemerintah pasti akan tertawa terbahak-bahak.(*)