Kedua, selama pelaksanaan Pemilu 2019, media sosial baik WA dan Facebook juga dimanfaatkan untuk menyebarluaskan politik identitas dan mempertajam polarisasi ditengah masyarakat dengan menebar kebencian massa terhadap lawan politiknya, dengan mengangkat isu-isu negatif lawan politiknya seperti kasus amoral, pengarusutamaan isu kesukuan atau SARA dan kasus korupsi lawan politik.
Media sosial menjelma ruang yang kian penting bagi orang Indonesia untuk berdebat dan membahas isu-isu ini, dari percakapan pribadi di WhatsApp hingga diskusi terbuka di Facebook dan Twitter. Peneliti media Merlyna Lim menyebut diskursus media sosial seputar Pilgub DKI Jakarta 2017 sebagai unjuk “kebebasan untuk membenci.”

Outcome yang ingin dicapai dengan menciptakan politik identitas dan polarisasi dalam masyarakat adalah beralihnya dukungan massa dari lawan politik menjadi basis massa yang militan, karena mereka sudah dihinggapi dengan kebencian terhadap tokoh yang sebelumnya mereka dukung.”

Menurut Serge Moscovici dan Marisa Zavalloni dalam Journal of Personality and Social Psychology mengatakan, menajamnya polarisasi sosial memang menjadi sasaran aksi-aksi massa sehingga diharapkan dapat menarik lebih banyak anggota masyarakat untuk “berpihak” pada aspirasi mereka.

Dalam artikel berjudul “Mencegah Polarisasi Politik Pasca-Pilpres 2019 Semakin Tajam” yang ditulis Whisnu Triwibowo (Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia) menyimpulkan, pertarungan yang belum selesai ini berlanjut pada Pilpres 2019 dan semakin diperparah dengan beberapa faktor: Perselisihan antara kedua kelompok ini berlanjut pada tataran legislatif dan eksekutif.

Partai-partai oposisi di parlemen yang dimotori oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang didirikan oleh Prabowo selalu mengkritik kebijakan pemerintahan Jokowi. Berbagai isu sosial, ekonomi, dan politik yang muncul dalam ranah publik atau media sosial selalu terbagi menjadi dua kubu tanpa adanya dialog publik.

Isu pembangunan jalan tol di Jawa, misalnya, menjadi isu partisan antara kedua kelompok. Perdebatan antara “tol milik Jokowi” dan “rakyat tidak makan infrastruktur” tidak bisa dihindari tanpa ada diskusi substantif terkait isu yang lain seperti tarif dan penggunaan fasilitas jalan tersebut. Politik partisan juga merembet ke pemilihan kepala daerah (Pilkada) seperti di DKI Jakarta. Kemenangan Anies Baswedan sebagai Gubernur Jakarta pada tahun 2017 diidentikkan dengan kemenangan kubu Prabowo.

Para ahli berpendapat kemenangan Anies disebabkan penggunaan politik populis yang juga dipakai Prabowo. Pendekatan menggunakan isu agama sebagai senjata terbukti ampuh untuk meraih kemenangan.
Pemanfaatan isu SARA dan Ormas keagamaan juga teridentifikasi telah dimanfaatkan sebagai komoditas politik mendeskreditkan “lawan”, sehingga legitimasi event Pilkada sebagai momentum pesta politik strategis nasional demi keberlangsungan estafet roda pemerintahan negara menjadi terancam. Sedangkan, Gerakan Indonesia Sholat Subuh (GISS) diskenariokan sebagai gerakan politik yang menghalalkan penggunaan politik identitas untuk meraih tujuan pragmatisme politik.”

Kondisi ini menunjukkan adanya degradasi pengaruh tokoh prominen yang menyebabkan meraka mempolitisasi isu-isu agama, SARA dan isu berbau politik identitas lainnya. Menilik kepada pendapat Donald Stokes (1963) terkait elektabilitas yang menyatakan kuat lemahnya elektabilitas calon dalam kontestasi politis sangat ditentukan atau merujuk pada kekuatan atomik calon dalam menarik dukungan dalam artian apakah calon memiliki karisma ditengah masyarakat, popularitas yang positif atau memili reputasi bersih dari korupsi. Jadi, penggunaan politik identitas jelas menunjukkan karena pelakunya kurang memiliki kriteria elektabilitas yang dikemukakan Stokes.”

Untuk itu, pada pelaksanaan Pemilu selanjutnya yakni Pilkada Serentak Tahun 2020 agar tidak berkembanganya politik identitas maupun kelompok yang kontra Pemerintah, agar semua pihak senantiasa menyadari pentingnya nilai-nilai budaya sendiri sebagai perisai ketahanan sosial bangsa. Jangan sampai gambaran dikotomi rivalitas kedua Paslon masih terbawa hingga mengarah pada pembelahan sosial yang cukup tajam.”

Tumbuhnya rasa saling percaya di antara penyelenggara pemilu, parpol dan masyarakat menjadi syarat utama terbangunnya demokrasi yang berkualitas dan penopang terwujudnya stabilitas politik dan keamanan dalam masyarakat. Secara teoretis konflik atau sengketa dalam pemilu bisa diredam jika peserta pemilu (parpol), penyelenggara pemilu, pemerintah, dan institusi penegak hukum mampu menunjukkan profesionalitas dan independensinya, tidak partisan dan memiliki komitmen yang tinggi dalam menyukseskan pemilu, sehingga pelaksanaan Pemilu dapat berjalan lancar dan dapat menekan angka golput dalam setiap Pemilu.

Penulis : Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI) dan Fordial