“Kalo cendekiawan selain dia ilmuan (pintar), dia itelektual caer terhadap lingkungan sekitarnaya. Tapi cendikiawan adalah caer juga terhadap umat, caer juga dengan bangsanya, caer juga dengan manusianya, caer juga denga lintas batas batas lintas degara itulah cendekiawan,” pungkasnya.

Dengan demikian, sambungnya, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia referensinya mestinya adalah kecendekiawanan, seorang kader PMII tidak hanya menjorkan dirinya sebagai ilmuan, apa artinya kita ilmuan tetapi tidak diarasakan keilmuan kita itu oleh orang lain.

“Kita di PMII ini, bukan seorang PMII tulen kalo hanya pintar, tapi tidak dirasakan kepintaranyan oleh lingkungan sekitarnya, bukanlah kader sejati PMII kalo hanya pintar dan dinikmati lingkunya tetapi cuek dengan bangsanya, cuek dengan penderitaan masyarakat, itu bukan cendikiawan dan itu bukan PMII. Jadi PMII itu harus menyinkronkan dirinya sebagai ilmuan, intelektual dan cendikiawan,” ucapnya.

Ketua Umum Pengurus Pusat As’adiyah itu juga menyampaikan untuk menjadi seorang ulama itu bukan hanya lahir dari pesantren tetapi juga sesuai dengan bidang keilmuannya masing-masing.

“Syarat kalo untuk menjadi ulama kaliber kualitas tinggi itu harus PMII. Kalo mau menjadi ulama 24 karat salah satu persyaratanya harus masuk PMII,” ucapnya.

Kegiatan tersebut di hadiri oleh seluruh keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa IsIam Indonesia (PMII) Metro Makassar dan para tamu undangan.