Intoleransi Agama Tidak Berakar dari Ruang Kosong
Serbia memberi kita pelajaran penting bahwa agama, meskipun menjadi sumber kedamaian, juga bisa menjadi alat kekuatan politik. Gereja Ortodoks Santo Sava, yang megah dan menjadi simbol keimanan Serbia, juga menyimpan sejarah kelam penghancuran pusaka keagamaan sebagai akibat dari pemberontakan. Ini menunjukkan bahwa intoleransi seringkali berakar pada konflik sejarah yang belum terselesaikan.
Indonesia, sebagai bangsa dengan keberagaman agama yang luar biasa, memiliki tanggung jawab besar dalam mencegah intoleransi. Moderasi beragama, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Agama Nasaruddin Umar, harus didesain dengan epistemologi yang lebih kokoh dan inklusif. Ini bukan hanya untuk internal bangsa, tetapi juga agar Indonesia dapat berperan lebih besar dalam menjaga perdamaian dunia.
Sebagai akademisi, saya menyadari bahwa moderasi beragama harus bersandar pada pemahaman lintas-sejarah. Di Indonesia, kita perlu menggali kembali nilai-nilai keindonesiaan yang menyatukan, sambil belajar dari bangsa lain seperti Serbia yang terus mencari keseimbangan dalam identitasnya. Moderasi bukanlah tujuan akhir, melainkan proses terus-menerus yang membutuhkan kolaborasi, pemahaman, dan komitmen.
Mari kita wujudkan Indonesia yang tidak hanya menjadi teladan dalam toleransi, tetapi juga menjadi garda depan dalam menjaga perdamaian dunia, sebagaimana amanah konstitusi kita. Karena sejatinya, intoleransi tidak berakar dari ruang kosong, melainkan dari sejarah yang perlu terus kita pahami dan selesaikan bersama.