Ketua Umum Kertas Pena : Dilema Bantuan Ditengah Wabah Covid-19 dan Penafsiran Masyarakat
Program BLT (Bantuan Langsung Tunai) dari anggaran dana desa paling membuat pemerintah desa kewalahan dan harus teliti dalam menentukan siapa warga yang akan mendapatkan BLT. Disisi lain, 14 kriteria yang berhak menerima yang dikeluarkan oleh Kementerian Desa ialah warga miskin diluar penerima PKH dan BNPT. Dimana penerima PKH dan BNPT sudah tercover oleh Kementerian Sosial. Pemberian bantuannya pun secara langsung yakni lewat rekening masing-masing penerima, selain bantuan paket sembako yang akan diantakan ke rumah masing-masing warga penerima.
Nah, dimana letak dilemanya? 14 kriteria atau indikator ini hanya dimiliki oleh masyarakat pada kategori penerima PKH dan BNPT (pun data ini masih simpangsiur karena ada warga yang tak layak dapat namun dapat begitupun sebaliknya). Oleh Kementerian Desa, regulasi itupun coba disederhanakan, yakni jika sudah memenuhi 4 dari 14 kriteria tersebut, maka sudah layak mendapatkan BLT dana Desa. Maka kunci dari dinamika di BLT ialah data yang akurat dan transparan.
Oleh beberapa desa dibuatlah semacam proses pendataan lebih berintegritas, yakni dengan melibatkan semua pihak dalam pendataan. Itupun dibatasi waktu, karena dari pihak pemerintah pusat menargetkan waktu oleh karena desakan dari masyarakat atas situasi pandemi saat ini. Pelibatan tokoh masyarakat, pemuda dan kalangan intelek dalam proses pendataan dianggap sebagai cara lebih efektif dalam meminimalisir protes warga.
Dana BLT berkisar Rp. 600.000/bulan yang akan diserahkan selama 3 bulan kedepan bukan hal yang mudah untuk dieksekusi pemerintah desa. Mereka harus bertaruh data agar akurat, tepat sasaran dan transparan. Jika salah mengambil kebijakan maka gelombang protes dan konflik sosial dimasyarakat sudah siap menyambut. Inilah dinamika sosialnya, yang dalam istilah kerennya “buah simalakama”.
Masyarakat yang sudah tak sabar pun sudah melakukan nyinyir dibeberapa media sosial, termasuk mencoba membandingkan antara desa yang satu dengan satunya lagi. Kabupaten A dengan Kabupaten B. Meme di media sosial sudah beragam bentuknya. Meme dan nyinyir itu seputaran penerima BLT, Bansos, PKH dan BNPT. Bahkan ada yang dengan sengaja memotret rumah penerima yang layak dengan tidak layak menerima. Kreatif memang, namun sebagai masyarakat juga menganggap bahwa ini hanya kecemburuan sosial, hanya karena tak dapat bantuan.
Sebuah fenomena yang setiap berkaitan dengan bantuan sosial, selalu saja jadi polemik. Data yang tak akurat pun jadi perdebatan. Pihak Kemensos misalnya lewat Menteri Juiandri Batubara dalam sebuah wawancara Talk-show mengungkapkan bahwa data penerima Bansos itu bersumber dari data yang dikirim dari pemerintah kabupaten lewat pemerintah kecamatan dan desa.
“Jumlah bantuan yang diberikan Kemensos itu sesuai data yang dikirim oleh pemerintah kabupaten. Datanya dari desa setempat lewat persetujuan pemerintah kecamatan, jadi jika tak ada penambahan data penerima, itu karena Pemkab tak mengupdate data lewat sistem yang sudah disiapkan. Semua Pemkab tahu sistem itu. Per 3 bulan dilakukan update. Kemensos sisa mengesahkan dan menyalurkan bantuan lewat data tadi,” terang Mensos Juliandri Batubara.
Situasi ini memang membuat kita bekerja ekstra. Semua pihak tak boleh lagi saling menyalahkan, namun lebih kepada kolaborasi dan menjadi bagian dalam upaya penanganan covid-19 ini. Pemerintah akan terus berupaya untuk memberikan bantuan secara maksimal dan tepat sasaran, baik dipusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa. Riak pasti ada dan itu hal wajar di negara demokrasi ini. Mengeluarkan pendapat itu dilindungi oleh undang-undang, namun tetap mengutamakan aturan yang berlaku dan tak melukai siapapun.
Pandemi covid-19 ini memberikan kita banyak pelajaran berharga. Data yang akurat untuk keperluan bansos, budaya sehat yang dimulai dari lingkungan masing-masing, masyarakat harus siap dan terbiasa disituasi sulit, kepekaan terhadap sesama, kolaborasi stackholder yang ada, sinergi dan bergerak bersama.
Dari sini pula kita harus siap dengan perkembangan IT. Dimana masa pandemi ini pula beragam situs dan aplikasi berbasis IT bermunculan dalam mempermudah akses informasi. Revolusi industri 4.0 betul-betul diterapkan, khususnya didunia pendidikan. Dimana guru menyadari pentingnya IT dalam pembelajaran, orang tua menyadari beratnya tugas seorang guru dan siswa siap membentuk karakter dirinya dari rumah masing-masing.
Fenomena dan dilema ini telah banyak memberi pelajaran berharga, sejatinya kita sudah mampu memahami bahwa masa sulit ini akan terlewati jika ada kesadaran bersama. Tidak lagi kita berdebat pada tataran yang pragmatis, namun lebih komprehensif melihat situasi. Penulis Abdul Jalil Mattewakkang (KETUA UMUM KERTAS PENA).(*)
Terbit : Selasa, 5 April 2020.