Ma’REFAT INSTITUTE Telaah Dinamika Perkembangan Kota Makassar
Mohammad Muttaqin sebagai pemantik kedua, mengawali pemaparannya dengan pertanyaan, “Apakah perkembangan Kota Makassar hari ini baik-baik saja?”
Makassar memiliki sistem perencanaan dalam menjalankan pembangunan kota. Ada dua jenis sistem perencanaan, yaitu perencanaan pembangunan (development planning) dan perencanaan spasial (spatial planning). “Sayangnya, dalam perkembangan Makassar, kedua instrumen ini tidak digunakan secara optimal, yang menyebabkan berbagai persoalan muncul.” Kata Muttaqin menjabarkan masalah.
“Kota terbaik bagi kamu adalah tempat di mana kehidupan dirimu diatur dengan sistem.” Demikian dikatakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Namun di Makassar— masih dalam penjelasan Muttaqin— sistemnya ada, tetapi tidak digunakan. Dokumennya ada, tetapi tidak dijalankan secara maksimal.
Saat ini, kita menghadapi permasalahan pembangunan di Kota Makassar, terutama pada persoalan keseimbangan wilayah. Pembangunan lebih banyak terkonsentrasi di area tertentu, seperti pesisir barat Makassar, sementara daerah pinggiran seperti tak mendapatkan perhatian. “Keterkaitan antara wilayah-wilayah dalam kota tidak terjadi, yang menyebabkan bagian-bagian kota tidak saling berhubungan. Di masa lalu, keterkaitan antar wilayah sangat diperhatikan, namun sekarang hal ini tidak terlihat lagi.”
Muttaqin melanjutkan, “Kota yang ideal adalah kota yang mampu membawa masyarakatnya menuju kebahagiaan sejati. Namun, ini sulit dicapai jika kepemimpinan kota tidak mumpuni atau tidak memiliki visi yang jelas.”
Peserta diskusi juga memberi berbagai tanggapan, salah satunya pembangunan Kota Makassar menimbulkan kekhawatiran akan kerusakan lingkungan. Pembangunan selalu melahirkan dampak, baik positif maupun negatif. Sayangnya, penguasa dan pemimpin daerah sering kali hanya fokus pada kemajuan yang berorientasi pada pertumbuhan dan keuntungan, tanpa mempertimbangkan berbagai dampak negatif pembangunan yang hadir setelahnya.
Muttaqin menanggapi, “Harapan untuk perkembangan kota ini bukanlah sesuatu yang muluk-muluk. Jika dalam lima tahun ke depan, pemerintah mampu mengurangi beberapa persoalan signifikan, itu sudah menjadi langkah besar.”
Misalnya saja, fokus pada perbaikan pelayanan dasar seperti pengelolaan sampah, penyediaan air bersih, transportasi publik yang layak, dan mitigasi banjir akan membawa dampak positif yang nyata. Jika cakupan wilayah terdampak banjir dapat dikurangi dari 12 kecamatan menjadi 10 atau bahkan 6 kecamatan, itu sudah menunjukkan kemajuan yang berarti.
Namun, jika tidak ada perubahan substansial dan hanya berkutat pada jargon-jargon semata, Kota Makassar terancam terjebak dalam stagnasi yang berkepanjangan. “Saya khawatir, tanpa arah yang jelas, Makassar dapat mengarah pada salah satu dari tiga kategori kota yang disebut oleh Al-Farabi, yaitu Kota Jahiliyah (bodoh), Kota Fasiq (durhaka), atau Kota Sesat, dan bukannya menjadi Al-Madinah Al-Fadilah (Kota Utama yang Ideal),” ungkap Muttaqin menutup pemaparannya.
Dalam diskusi ini, hadir berbagai peserta dari latar belakang yang berbeda, mulai dari akademisi, pengusaha, hingga aktivis sosial, berkumpul untuk membahas transformasi Kota Makassar dengan refleksi mendalam tentang sejarah, dinamika masa kini, hingga strategi menghadapi tantangan masa depan. Diskusi diakhiri pada pukul 16.30 Wita. (*)