Pendekatan yang digunakan kandidat doktor asal Universitas Hasanuddin ini, adalah mengategorikan fakta jurnalistik ke dalam fakta empirik, fakta publik, fakta psikologis, dan fakta opini, menurut saya tidaklah sepenuhnya unik. Gagasannya berakar pada pemikiran mendasar dalam ilmu komunikasi dan jurnalisme yang sudah lama dipegang oleh banyak pakar media.

Banyak pakar komunikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, sudah mengemukakan ide serupa, meskipun dengan terminologi dan kerangka teoretis yang berbeda. Saya mencoba membandingkan dengan pakar lain. Gagasan tentang kebenaran dan objektivitas:

Dalam bukunya itu, Zulkarnain Hamson menekankan bahwa jurnalis harus secara kritis menguji berbagai jenis fakta untuk mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Jauh sebelumnya Walter Lippmann, salah satu pemikir media paling berpengaruh, membedakan secara tajam antara “berita” dan “kebenaran”.

Ia berpendapat bahwa berita adalah laporan yang mencakup peristiwa faktual, sementara kebenaran adalah rekonstruksi realitas yang lebih luas dan rumit yang tidak dapat seluruhnya ditangkap oleh berita. Karyanya menginspirasi jurnalis untuk melampaui pelaporan peristiwa dan mencari pemahaman yang lebih dalam.

Pakar lainnya, Philip Meyer, mendorong penerapan metode sains sosial dalam jurnalisme untuk meningkatkan akurasi. Konsepnya tentang “jurnalisme presisi” sangat selaras dengan gagasan Zulkarnain Hamson tentang penggunaan fakta empirik dan data untuk memverifikasi laporan.

Sebagai praktisi yang beranjak memasuki dunia akademik, aktifitas saya selama menjadi wartawan, cukup mengapresiasi buku ini. Sebagai akademisi, upaya Zulkarnain Hamson menyuguhkan kategori fakta dan sumber informasi, sangat membantu jurnalis membedakan fakta berdasarkan sumber (empirik, publik, psikologis, dan opini). Buku ini layak untuk menjadi referensi bagi jurnalis dan mahasiswa komunikasi. (*)