Sementara itu, kelompok yang anti Omnibus Law konon dikabarkan melakukan gugatan melalui jalur hukum, ada sejumlah alasan yang mendasari gugatan tersebut antara lain pelanggaran prosedur tahapan pembentukan perundang-undangan yang tidak dipatuhi oleh pemerintah (Pelanggaran secara prosedur); Banyak menabrak konstitusi maupun berbagai keputusan Mahkamah Konstitusi yang sudah pernah diputuskan (Pelanggatan substansi); Dalam pembentukan perundang-undangan ada prosedur yang harus diikuti.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ada tahapan pertama adalah perencanaan; Kehadiran surat presiden yang dikirimkan kepada DPR pada tanggal 12 Februari 2020 untuk membahas RUU Cipta Kerja itu yang menjadi objek gugatan Tim Advokasi untuk Demokrasi ke PTUN Jakarta; Tidak dilibatkannya kelompok masyarakat dalam pembentukan RUU Cipta Kerja membuktikan bahwa pemerintah hanya mengutamakan dan mendengar pendapat dari pengusaha sebagai kelompok yang memiliki kepentingan.

Sepertinya alasan-alasan yang disampaikan kelompok anti Omnibus Law terkesan mengada-ada, karena jika pemerintah “dituding” melakukan pelanggaran seperti diatas, dapat disimpulkan betapa dangkalnya pemahaman hukum yang dimiliki oleh aparat pemerintah sekarang ini.

Yang pasti, draft RUU ini sudah dipikirkan banyak pakar dan kelompok, serta jelas akan memperhatikan rambu-rambu hukum yang ada, sehingga “tidak hantam kromo” begitu saja.

Banyak kalangan pakar berlatar belakang ekonomi mendukung rencana pemerintah dan DPR untuk membuat RUU Omnibus Law Cipta Kerja dengan tujuan *memudahkan investasi dan membuka lapangan kerja yang seluas luas nya di Indonesia. Jika RUU Omnibus Law Cipta Kerja dapat disahkan sebelum pandemi covid-19 berakhir maka undang-undang Omnibus Law tersebut berperan sebagai pendorong / Triger pemulihan ekonomi negara Indonesia pasca pandemi Covid-19. Penulis : Linda Rahmawati.(*)

Terbit : Jakarta, 5 Mei 2020.

Sumber : Kolumnis di Beberapa Media Massa.