barcode (ilustrasi)

Lalu, apa yang dimaksud dengan FFP? FFP singkatan dari Frequent Flyer Program ialah program yang diberikan oleh maskapai penerbangan untuk meningkatkan loyalitas pelanggan dengan memberikan poin setiap kali seseorang menggunakan pesawat maskapai tersebut. Poin tersebut bisa di tukarkan juga dengan berbagai hadiah.

Nomor FFP dapat digunakan untuk mengakses akun pribadi seseorang. Tim Stenovec dari Tech Insider, dapat digunakan untuk mengubah rencana perjalanan dan menyarankan jika ingin tetap pamer pastikan bagian barcode dari Boarding Pass tidak terlihat.

Selain itu dikutip dari halaman Kompas.com (12/04/2016), Menurut pengamatan psikolog Vierra Adella M.Psi, saat ini nilai-nilai yang dianut mayoritas orang memang ketenaran.

Media sosial memberi ruang bagi kita untuk menunjukkan diri dan juga ada “penontonnya”.

“Yang sehat itu kalau kita punya kompetensi tertentu untuk dibanggakan. Kalau skill-nya biasa-biasa saja maka dia butuh atribut, yaitu barang-barang duniawi,” kata psikolog yang biasa disapa Adella itu.

Barang-barang bagus, lokasi liburan, hingga makanan di restoran yang kerap dipamerkan seseorang di media sosial, menurut Adella dianggap sebagai pelengkap kepribadian.

Ketika seseorang mampu membeli barang-barang mahal, ia berharap gengsinya akan naik di lingkungannya. Apalagi kalau banyak teman-teman di media sosial yang merasa kagum dan iri.

Fenomena tersebut kemudian ditangkap oleh dunia bisnis sehingga lahirlah konsumerisme. Setiap produk yang baru ditawarkan sebagai gaya hidup modern dan langsung ditangkap oleh konsumen tanpa berpikir panjang.

Perlu diketahui bersama, mengunggah foto ataupun tulisan di medsos bisa menentukan lulus tidaknya seseorang ketika melamar pekerjaan, karena biasanya pihak perusahaan akan meminta mengisi biodata lengkap pelamar beserta Id akun medsos. Tujuannya agar mengetahui apa saja aktivitas pelamar di jejaring sosial.

Menurut riset yang dipublikasikan di situs World Economic Forum, perusahaan akan memeriksa latar belakang dan identitas pribadi para pelamar pekerjaan. Jadi, jika Anda pernah mengunggah foto mabuk atau memfolow akun yang mencuri foto perempuan tanpa persetujuan, berhati-hatilah. Bisa jadi Anda tidak akan diterima bekerja.

Karena akses infromasi kebanyakan diperoleh di medsos, dalam Kacamata Jurnalistik sendiri, fenomena penyebarluasan informasi di medsos harusnya berupa wacana yang konstruktif (membangun). Alasannya, informasi yang tersebar adalah konsumsi publik dan salah satu tools membangun opini publik.

Mestinya informasi yang dipublish di medsos harus melengkapi kaidah penulisan informasi yang akrab kita sebut 5W + 1H. Yang kedua informasi yang disebar di medsos haruslah berguna kepada pembaca. Ketiga, sifat informasi yang faktual bukan berupa gosip.

Penulis: Karman Kurniawan (Sekum Himpunan Mahasiswa Islam Korkom Perintis Cabang Makassar)