Meskipun nama “Nawe” tidak memiliki arti khusus menurut para orang tua, ia tetap diakui sebagai simbol keindahan dan keunikan.

Pohon ini juga menjadi pusat perhatian para peneliti dan pelancong dari mancanegara yang datang untuk menyaksikan langsung keajaiban alam ini sebelum tumbangnya.

Tumbangnya Pohon Nawe Tua menandai akhir sebuah era, namun tak lama setelah itu, muncul anakan baru. Dalam waktu satu dekade setelah robohnya Nawe’ Tua, anakan pohon Nawe ini tumbuh tepat di tempat Nawe’ Tua dan kini berusia sekitar 3 tahun.

Menariknya, tahun 2025 menandai tahun pertama anakan ini berbunga, memberikan harapan baru bagi masyarakat.

Pohon Nawe kini dianggap sebagai warisan yang tidak ternilai bagi masyarakat Arungkeke Pallantikang. Bersama dengan pohon asam yang terletak di sebelahnya, yang juga menjadi saksi sejarah dilantiknya para raja, kedua pohon ini menjadi bagian penting dari identitas desa.

Pemerintah desa pun berkomitmen untuk menjaga dan merawat warisan ini dengan mengagendakan menggelar festival budaya yang merayakan sejarah dan keunikan desa.

Kegiatan yang telah direncanakan oleh Kepala Desa Arungkeke Pallantikang ini, tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga menarik minat wisatawan, menjadikan Arungkeke Pallantikang sebagai destinasi yang kaya akan budaya dan keindahan alam.

Pohon Nawe dan kisahnya adalah pengingat akan kekuatan alam dan warisan budaya yang harus dijaga.

Masyarakat Arungkeke Pallantikang terus merawat pohon ini, berharap generasi mendatang akan mengenal dan menghargai keindahan serta nilai sejarah yang terkandung di dalamnya.

Di tengah perubahan zaman, Pohon Nawe’ tetap berdiri sebagai simbol harapan, keindahan dan keterhubungan manusia dengan alam dan sejarah.