Prof Muchtar Pakpahan : Buruh Berdiam Terkait Omnibus Law
“Dulu masalah Soeharto saya tulis dalam buku saya, kalau Pak Harto tahun 83, saya bilang Soeharto melanggar undang-undang dasar, tahun 1995 saya terbitkan buku potret Negara Indonesia, saya bilang lakukan reformasi apabila tidak akan ada revolusi, saya ditangkap, 3 tahun kemudian terjadi reformasi. Dan pada waktu itu kalau bisa disebut saya ingin menggerakkan revolusi itu, tapi ternyata saya dipenjara, terjadi juga reformasi itu walaupun saya dipenjara,” ujarnya
Sementara itu, Kahar S. Cahyono menilai regulasi dalam Omnibus Law justru akan mereduksi hak-hak buruh. Setelah kami pelajari, banyak pasal di dalam omnibus law yang justru membuat buruh semakin jauh dari kepastian kerja (job security), kepastian pendapatan (income security), dan jaminan sosial (social security).
“Hal itu, salah satunya tercermin dari menurunnya kualitas seperti hilangnya UMK, UMSK dan UMSP. Dalam RUU Cipta Kerja, upah minimun hanya didasarkan pada Upah Minimum Provinsi (UMP). Hal ini bisa kita lihat dengan adanya penambahan Pasal 88 C yang berbunyi: (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi. Dengan demikian, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK), dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) akan hilang,” ujar Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI ini.
Menurut Kahar S Cahyono, UMP tidak dibutuhkan, kecuali di DKI Jakarta dan Yogjakarta. Karena di luar kedua provinsi itu, yang digunakan adalah UMK dan UMSK. Jika upah minimum hanya mengacu kepada UMP, maka akan ada lebih dari 500 kabupaten/kota yang UMK nya hilang. Ketentuan ini sangat merugikan buruh.
Sebagai contoh, urainya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan UMP 2020 sebesar Rp 1,81 juta. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan UMK di sejumlah kabupaten/kota lain di Jawa Barat. UMK 2020 di Kabupaten Karawang Rp 4.594.324, di Kota Bekasi Rp 4.589.708, sementara di Kabupaten Bekasi sebesar Rp. 4.498.961. “Jika yang berlaku hanya UMP, maka upah pekerja di Karawang yang saat ini 4,59 juta bisa turun menjadi hanya 1,81 juta,” tegasnya.
Selanjutnya Kahar menilai, hilangnya UMK, UMSK, dan UMSP semakin jelas terlihat dengan dihapusnya Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003 dalam RUU Cipta Kerja. Bunyi Pasal 89 Ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 yang akan dihapus dalam RUU Cipta Kerja: Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas: (a) upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; (b) upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
“Dalam Penjelasan Pasal 89 Ayat (1) Huruf b disebutkan, upah minimum sektoral dapat ditetapkan untuk kelompok lapangan usaha beserta pembagiannya menurut klasifikasi lapangan usaha Indonesia untuk kabupaten/kota, provinsi, beberapa provinsi atau nasional dan tidak boleh lebih rendah dari upah minimum regional daerah yang bersangkutan. Lebih lanjut, dalam Pasal 88F RUU Cipta Kerja, kembali ditegaskan bahwa minimum yang berlaku hanya upah minimum provinsi dan upah minimum padat karya: (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (2) dan Pasal 88E ayat (1) berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan. (2) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud pada Pasal 88C ayat (2) dan Pasal 88E ayat (1). Pasal 88C Ayat (2) terkait dengan upah minimum provinsi. Sedangkan Pasal 88E Ayat (1) terkait dengan upah minimum padat karya. Dengan demikian, sangat jelas jika di dalam omnibus law UMK, UMSK, dan UMSP sudah tidak ada lagi,” jelasnya.
Saat ini, saran Kahar S Cahyono, yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah fokus pada penanganan pandemi dan strategi menghadapi darurat PHK. Bukan justru membahas omnibus law. “Oleh karena itu, dalam situasi pandemi ini, kami menolak ikut membahas omnibus law,”(*)
Terbit : Jakarta, 4 Juni 2020.