Romanga : Jejak Peradaban Turatea
Petani sekitar masih memanfaatkan mata air di Romanga untuk mengairi sawah mereka.
Jika kita mendengar kisah orang-orang yang menyaksikan Romanga di tahun 70-an, tempat ini pernah menjadi rumah bagi burung kakatua dan spesies unik seperti burung cobo’-cobo’, yang konon menyerang manusia berambut plontos.
Namun, kini Romanga berubah drastis. Pinggirannya menjadi tempat pembuangan sampah oleh masyarakat yang tidak bertanggung jawab. Semak belukar dan sampah plastik berserakan di dalam area Romanga, bahkan di kolam sejarah yang dulu suci.
Pohon-pohon tua banyak yang tumbang. Lahan Romanga semakin tergerus oleh pembangunan di sekitarnya. Kesakralan yang dulu dijaga kini seperti hilang ditelan zaman.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Pertanyaan besar yang muncul adalah siapa yang harus bertanggung jawab atas kondisi Romanga saat ini? Tidak jelas ada institusi atau komunitas yang secara aktif menjaga kelestarian tempat ini.
Padahal, Romanga bukan sekadar hutan kecil—ia adalah entitas sejarah dan peradaban ekosistem Turatea yang mewakili Jeneponto. Dahulu, masyarakat mengambil air suci dari Romanga untuk hajatan, namun kini praktik itu tak lagi terlihat.
Romanga seolah menjadi mata rantai ekosistem yang terputus dari kisahnya sendiri.
Melihat kondisi Romanga yang memprihatinkan, ada kebutuhan mendesak untuk revitalisasi dan pelestarian tempat ini.
Pemerintah lokal, masyarakat, dan stakeholder harus bersinergi menjaga Romanga sebagai bagian dari kekayaan budaya dan alam Jeneponto. Romanga bukan hanya warisan Turatea, tetapi juga simbol kearifan lokal yang mengajarkan penghormatan terhadap alam dan tradisi.
Jika tidak ada upaya pelestarian, maka jejak peradaban Romanga mungkin akan hilang selamanya, menjadi kenangan yang hanya tinggal cerita. (*)