Untuk itu, kandidat yang mengklaim surveinya paling tertinggi sengaja melakukan strategi pembentukan opini di masyarakat. Termasuk berusaha menuding calon lain akan melakukan kecurangan alias jekkong jika ingin memenangkan pertarungan.

“Jadi ada upaya melekatkan image jekkong atau curang kepada salah satu kandidat. Sebenarnya, tidak perlu dilakukan pencitraan opini seperti ini karena berpotensi menimbulkan konflik dan stabilitas keamanan,” tegas akademisi dari Unibos ini.

Arief mencermati, klaim hasil survey juga sebenarnya tidak terlalu berpengaruh, karena dinamika dukungan elektoral di masyarakat bagi calon pemilih sangat tinggi.

Menurut dia, sekarang mungkin angkanya sekian, tapi besok belum tentu sama. Bisa juga berkurang, tergantung kinerja politik di lapangan.

Mungkin saja awalnya diunggulkan, tetapi bisa saja kedodoran diakhir kompetisi. Hal ini bagi Arief sering kali terjadi dalam di kontestasi pilkada.